Warga Malang pasti mengetahui patung
berbentuk seorang prajurit di Jl. Simpang Balapan, bertumpu pada pedang
panjangnya patung itu berdiri dengan gagah di tengah taman yang mungil. Namun
jika ditanya siapa gerangan tokoh yang dijadikan patung tersebut maka pasti
banyak yang tidak mengetahuinya. Jangankan nama patungnya, warga Malang mungkin
juga tidak tahu nama taman kecil yang sering mereka lewati tersebut.
Sesuai dengan nama jalan tempat
taman itu dibuat, nama taman tersebut adalah Taman Simpang Balapan. Taman ini
diresmikan tanggal 10 November 1991 oleh Menteri Dalam Negeri di era Presiden
Soeharto yaitu Bapak Rudini. Tidak mengherankan jika beliau sendiri yang
meresmikan Taman Simpang Balapan karena beliau merupakan Kera Ngalam asli.
Adapun patung prajurit yang berdiri
gagah di tengah Taman Simpang Balapan adalah seorang prajurit pejuang
kemerdekaan di Malang yang bernama Mayor Hamid Roesdi. Patung Hamid Roesdi
diresmikan pada tanggal 10 November 1975 di persimpangan antara Jl. Semeru dan
Jl. Arjuna.
Tapi kemudian dengan seiring
keberhasilan Kota Malang dalam meraih dan mempertahankan Piala Adipura untuk
yang kesekian kalinya, maka keberadaan patung Hamid Rusdi digantikan oleh
Monumen Adipura Kencana. Kemudian patung Hamid Rusdi dipindahkann ke Area Taman
Bekreasi Sena Putra Malang. Dan yang terakhir patung Hamid Rusdi berada di
Simpang Balapan atau Ijen Boulevard.
Sejarah Hamid Roesdi
Hamid Roesdi dikenang sebagai sosok
pahlawan tiga masa, yaitu masa penjajahan Belanda, Jepang dan Kemerdekaan yang
sangat konsisten memperjuangkan hak-hak rakyat. Beliau lahir pada hari Senin
Pon 1911 di Desa Sumbermanjing Kulon, Pagak, Malang Selatan. Pada masa
penjajahan Belanda, Hamid Roesdi sangat aktif di bidang kepanduan dan tergabung
dalam 'Pandu Ansor' karena beliau juga seorang guru agama sekaligus staf Partai
NU. Beberapa tahun kemudian bekerja di Malang sebagai seorang sopir di penjara
Besar Malang (Lowokwaru). Pada tanggal 8 Maret 1942 Jepang memasuki kota Malang
dan mulai memerintahkan membuat barisan Heiho, Seinedan, Keibodan dan
Djibakutai sekaligus melakukan tekanan fisik pada rakyat.
Melihat situasi itu, Hamid Roesdi
keluar dari pekerjaannya dan mulai membela nasib rakyat dengan menyusup ke PETA
(Pembela Tanah Air) tahun 1943 yang dibentuk atas usul Gatot Mangkupraja dan
ditugaskan di Malang dengan pangkat Sudanco (Letnan I). Selain berlatih
militer, ia juga sibuk mempersiapkan laskar rakyat untuk menentang Jepang
sendiri. Pada malam hari tanggak 3 September 1945 diumumkan daerah karesidenan
Surabaya masuk wilayah RI, Hamid Roesdi mulai melucuti tentara Jepang di
Malang. Pada tahun 1946 Hamid Roesdi menjabat sebagai perwira Staf Divisi VII
Suropati dengan pangkat Mayor dan bertempat tinggal di Jl. Semeru (sekarang
Bank Permata).
Karena dianggap berhasil dalam
menangani pelucutan senjata Jepang, kemudian Hamid Roesdi diangkat sebagai
komandan Batalyon I Resimen Infanteri 38 Jawa Barat dan menyelesaikan
pertempuran di sana dengan sukses. Sekembalinya dari Jawa Barat beliau dinaikkan
pangkatnya dari Letnan Kolonel menjadi Komandan Pertahanan daerah Malang di
Pandaan-Pasuruan.
Pada Clash I 1947 Hamid Roesdi
dengan gigih memimpin pasukan mempertahankan Kota Malang dari tentara Belanda.
Sebelum Belanda memasuki Pandaan, Hamid Roesdi berkeliling kota menaiki Jeep
untuk memerintahkan seluruh rakyat agar 'membumi hanguskan' bangunan Belanda.
Ketika Kota Malang tidak dapat
dipertahankan lagi, beliau membuat pertahanan di Bululawang dan menyusun
strategi merebut Malang kembali. Tengah malam
8 Maret 1949 kondisi perang sangat genting, Hamid Roesdi datang dan
berpamitan pada istrinya, Siti Fatimah yang belum sempat dikaruniai anak karena
selalu hidup dalam persembunyian. Setelah pamit untuk terakhir kalinya, beliau
tidak pernah kembali lagi selama-lamanya.
Sebagai warga Malang kita sepatutnya
mengenang dan mengapresiasi jasa besar Mayor Hamid Roesdi yang telah berjuang
melindungi Malang di jaman penjajahan hingga kemerdekaan Indonesia. Para
generasi muda kota Malang harus mencontoh semangat dan jiwa kepemimpinan
seorang Hamid Roesdi yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk bangsa
tercinta. Tak hanya pemberani, Mayor Hamid Roesdi juga kreatif karena bersama
anak buahnya Suyudi Raharno menciptakan Bahasa Walikan atau Osob Kiwalan yang
sampai sekarang menjadi ciri khas Malang. Bahasa Walikan ini dipergunakan
sebagai bahasa komunikasi di antara para pejuang karena saat itu banyak sekali
penyusup yang merupakan mata-mata Belanda. Dengan semua kiprah dan
perjuangannya di atas, maka kita harus bangga dengan pahlawan Kera Ngalam asli
yaitu Mayor Hamid Roesdi.
Sumber Referensi:
http://dssumbermanjingkulon.blogspot.com/2012/11/smkl-lokasinya-terletak-di-jl.html
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=194280&val=6515&title=Perancangan%20Buku%20Esai%20Fotografi%20Tentang%20Kawasan%20Idjen%20Boulevard,%20Malang
http://dssumbermanjingkulon.blogspot.com/2012/11/smkl-lokasinya-terletak-di-jl.html
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=194280&val=6515&title=Perancangan%20Buku%20Esai%20Fotografi%20Tentang%20Kawasan%20Idjen%20Boulevard,%20Malang
Weleh, patungnya sampai pindah2 gitu ya mas lokasinya :) Semarang juga punya osob kiwalan lhooo...cuma kaidah pembalikannya berbeda dengan Ngalam dan Yogyes ;) Saya yg asli orang Semarang sampai sekarang enggak mahir tapinya pake boso walikan itu hihiiii...
ReplyDeleteIya kayak mendiang Mayor Hamid Roesdi yang berpindah-pindah saat gerilya melawan penjajah.
DeleteBoleh dong dikasih contoh kayak gimana MBak osob kiwalan ala Semarang itu ;-)
Wan itu salah satu fotonya kukira kayak Manneken Pis di Belgia :D ini tamannya sepi ya? gak ada yang pacaran di sini apa? eaaa
ReplyDeleteYang nomer berapa Yan? Nanti aku mau foto lagi objek lain yaitu patung Drs. Syaiful Anwar, latar belakangnya gereja tua gitu. Dulu pas temenku nampang di sana kayak lagi foto di Eropah :D
DeleteSepii, nggak laku Yan tamannya. Yayan nanti kalau ke Malang mau pacaran di sini? Boleh kok asal bawa pasangan ya :D