Setelah merelakan kesempatan untuk
memiliki rumah baru di Gribig hilang, Keluarga Biru rehat sejenak dari agenda hunting info perumahan. Meski pembatalan
pembelian unit rumah di Gribig itu atas inisiatif kami sendiri namun terselip
rasa sayang atau eman di hati kami.
Kami mencoba mengalihkan fokus perhatian kami pada hal lain.
Rumah Bercat Hijau
Sekitar bulan November 2013 Mama
Ivon melihat informasi rumah salah satu tetangga kami yang dijual. Letak rumah
tersebut berada di ujung gang. Rumah bercat hijau itu sudah lama tidak
ditempati. Terakhir yang menghuni rumah tersebut adalah seorang penjual dawet
keliling. Mama Ivon tertarik dengan rumah tersebut dengan beberapa
pertimbangan.
Pertimbangan pertama letaknya yang
tidak jauh dari rumah keluarga besar saya, hal ini sesuai dengan keinginan saya
jika membeli rumah kalau bisa lokasinya tidak jauh dari rumah yang sekarang
kami tempati. Saya ingin tetap bisa berada dekat dengan Ibu dan juga agar Aiman
tidak terputus komunikasinya dengan para sepupunya. Pertimbangan kedua
lokasinya jelas berada di tengah kota dan jalannya lebar sehingga rumah itu masuk
semua di kriteria kami.
Saya lalu menghubungi nama dan nomer
yang tertera di informasi penjualan rumah tersebut. Nama pemiliknya adalah Bu
Tutik. Bu Tutik menjawab sms saya dengan cepat, beliau mengatakan kalau untuk
urusan penjualan rumah tersebut sudah diserahkan kepada Mbak Lastri, tetangga
kami. Berbekal informasi tersebut kami kemudian datang ke rumah Mbak Lastri.
Rumah yang Sempurna
Setelah mengutarakan minat kami pada
Mbak Lastri, kami lalu diajak untuk melihat kondisi rumah Bu Tutik. Sebelumnya
kami sudah punya perkiraan bagaimana kondisi rumah Bu Tutik yang sudah lama
tidak ditempati tersebut. Dan ternyata kondisi yang sebenarnya sedikit lebih
parah dari bayangan kami. Asbes rumah tersebut sudah hampir jebol dan berjamur semua
karena terkena bocoran air hujan. Air hujan bisa masuk karena gentingnya juga
sudah banyak yang pecah, terutama di ruang tamu. Di dua kamar tamu kondisinya
juga tidak lebih baik, berantakan! Ada beberapa pakaian bekas dan tumpukan
kertas peninggalan penjual dawet keliling. Yang agak mendingan kondisi
dapurnya, karena sudah dikeramik maka meski kotor namun tidak separah ruangan
lainnya. Saat kami keluar kami melihat ada gerobak si penjual dawet di teras. Menurut
cerita Mbak Lastri penjual dawet tersebut menunggak uang sewa dan listrik 3
bulan dan meninggalkan rumah tanpa pamitan sama sekali. Sungguh, keadaan rumah
itu benar-benar sempurna untuk ditempati…oleh kecoak, tikus dan sejenisnya.
Kami lalu mencoba untuk
menimbang-nimbang lagi niat kami untuk membeli rumah Bu Tutik. Dengan
kondisinya yang mengenaskan itu maka kami harus melakukan renovasi jika ingin
menempatinya. Menurut perkiraan paman kami yang seorang pemborong, biaya
renovasi rumah kami itu lumayan besar. Lalu juga status kepemilikan tanah rumah
tersebut, ternyata tanah tempat rumah berdiri itu adalah milik pemerintah.
Memang di daerah kami banyak sekali rumah yang berdiri di atas lahan milik
pemerintah alias tanah sewa. Setiap tahun para penduduk membayar biaya sewa
kepada Pemkot Malang. Paman kami menganjurkan untuk mencari rumah di daerah
lain saja yang memiliki hak kepemilikan atas tanahnya. Pun, beberapa teman juga
menyarankan hal yang sama. Malahan ada yang menakut-nakuti kalau nanti ada
resiko penggusuran juga.
Tapi untung kami mendapatkan
informasi yang cukup membuat kami berlega hati bahwa pemukiman di tempat kami
sangat kecil resikonya untuk digusur. Jumlah lahan yang disewakan Pemkot Malang
untuk pemukiman penduduk sangat luas, membentang dari daerah Mergan hingga ke
Sukun, bahkan deretan rumah mewah yang berada di Jalan Raya Langsep itu
statusnya juga berdiri di atas tanah milik Pemkot Malang. Pasti dibutuhkan dana
yang sangat besar sebagai kompensasi atas rumah-rumah tersebut jika memang
Pemkot Malang ingin melakukan penggusuran. Dan kami rasa hal itu tidak akan
terjadi, wong wacana untuk melakukan
pelebaran jalan di sepanjang Jalan Mergan Lori hingga Sukun saja sampai saat
ini tidak ada tanda-tanda akan direalisasikan. Penyebab pasti Pemkot Malang
berpikir ulang untuk menyediakan dana pengganti untuk rumah-rumah mewah yang
berdiri di sepanjang jalan tersebut. Lalu ada kabar juga bahwa Pemkot membuka kesempatan
bagi para warga yang ingin membeli tanah tersebut. Okelah, Bismillah dengan
segala kelebihan dan kekurangannya tersebut Keluarga Biru memantapkan hati
untuk membeli rumah tersebut.
Negosiasi Harga
Kami belum pernah membeli rumah
sehingga untuk melakukan negosiasi harga masih buta sama sekali. Tidak mungkin
kami menawar rumah seperti menawar barang di pasar. Untunglah kerabat dan teman
memberikan masukan bagaimana menawar rumah milik Bu Tutik itu.
Bu Tutik menyambut baik kedatangan
kami sore itu di rumahnya di daerah belakang UIN Malang. Dari mulut beliau lalu
terurailah cerita tentang rumah tersebut. Rumah di Mergan itu sebenarnya milik
almarhum mertuanya. Lalu oleh sang mertua diwariskan kepada anaknya, yaitu
suami Bu Tutik. Tak lama setelah rumah itu direnovasi, suami Bu Tutik meninggal
dunia sehingga rumah tersebut akhirnya dikontrakan. Saya sendiri dulu hanya
mengenal mendiang mertua Bu Tutik sehingga wajar saat pertama kali datang ke
rumahnya kami tidak saling mengenal.
Proses negosiasi harga sedikit
berjalan alot saat Bu Tutik bersikukuh dengan harga yang ditawarkan, sedangkan
kami menawarnya dan mengemukakan kondisi rumah yang sudah tidak layak untuk
dihuni sehingga perlu direnovasi. Tapi Bu Tutik juga bilang kalau selain kami,
sudah ada dua pembeli yang menghubunginya. Syukurlah setelah ngobrol lebih lama
dan intens akhirnya Bu Tutik mau
menurunkan harga. Kami mencoba menawar sesuai dengan harga yang kami inginkan.
Namun kali ini Bu Tutik bergeming. Saya sempat berpandangan dengan Mama Ivon
dan dia mengangguk, itu artinya dia setuju. Dan kesepakatan harga pun tercapai.
Untuk membiayai pembelian rumah dan
renovasi kami memutuskan untuk mengajukan pinjaman ke bank. Keputusan ini kami
ambil setelah menimbang masak-masak meski kami menabung dengan rajin akan sulit
sekali untuk mengumpulkan uang untuk membeli rumah secara kontan. Ditambah lagi
kami harus berlomba dengan pembeli lain yang ternyata tidak kenal menyerah.
Awalnya kami mengira itu hanya trik Bu Tutik untuk mengesankan bahwa rumahnya
punya nilai jual tinggi. Namun saya kemudian melihat dengan mata kepala sendiri
saat ada orang yang datang bertamu ke rumah Mbak Lastri dan menanyakan apakah
rumah Bu Tutik sudah laku atau belum.
Setelah proses pembayaran selesai,
kami lalu melakukan proses pengurusan akta jual beli rumah di notaris.
Kebetulan saya mempunyai kenalan seorang notaris yang dulu mengurus akta
pendirian penerbitan kami. Alhamdulilah biaya pengurusannnya juga tidak mahal
dan akhirnya secara resmi Rumah Hijau tersebut menjadi milik Keluarga Biru.
Saluuut sama keteguhannya Wan. Semoga dimudahkanNya ya.
ReplyDeleteBersiteguh karena memang butuh Yan :D
DeleteAamiin, sekarang kami lagi menjalani step perjuangan selanjutnya yaitu renovasi, nantikan ceritanya nanti Yan.
Boleh tau biaya notarisnya berapa, Dik?
ReplyDeleteDi sini mahal sekali pasarannya, jadi penasaran di Malang berapa ;)
www.honeymoonbackpacker.com
Biaya notarisnya ada dua Mbak, akta jual beli dan pengubahan nama penyewa tanah di pemkot. Untuk jual beli 300K ditanggung berdua dengan penjual sedangkan pengubahan nama penyewa 700K.
DeleteAlhamdulillah... Itu memang dambaan bagi keluarga, terutama seperti saya... Salut deh
ReplyDeleteMas Hendra sudah punya rumah sendiri? :-)
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeletesaya ikut senang membacanya