Bagi saya, salah satu
hal yang mengasyikkan ketika melakukan travelling adalah berburu oleh-oleh,
baik itu bagi diri sendiri maupun orang-orang terdekat. Letak keasyikannya
terletak pada keunikan oleh-oleh dan perjuangan kita dalam mendapatkannya.
Keunikan oleh-oleh bisa
kita dapatkan dengan membeli oleh-oleh yang mempunyai ciri khas daerah setempat
dan tidak bisa kita dapatkan di daerah lain. Misalnya oleh-oleh khas Bali itu Salak
Bali dan kaus Joger, oleh-oleh khas Jogja itu bakpia pathok dan kaus Dagadu,
oleh-oleh khas Malang itu keripik tempe, buah Apel dan kaus Boso Walikan dan
masih banyak lagi lainnya.
Sedangkan perjuangan
dalam mendapatkan oleh-oleh biasanya kita alami ketika kita melakukan transaksi
jual-beli dengan para pedagang. Sudah menjadi rahasia umum jika membeli barang
di tempat-tempat wisata maka harganya akan jauh melambung bila dibandingkan
dengan di tempat biasa. Nah kali ini saya ingin berbagi cerita bagaimana saya
berjuang mendapatkan oleh-oleh di tempat-tempat wisata yang pernah saya
kunjungi.
Kita mulai dari Bali.
Saya sudah tiga kali pergi ke Pulau Dewata, yang pertama tahun 2003. Pengalaman
pertama rasanya amazing banget, nggak
percaya akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di pulau yang menjadi idola bagi
turis domestik dan mancanegara tersebut. Selain keindahan alam dan objek wisata
yang sudah tidak diragukan lagi, oleh-oleh khas Bali berupa kaus Joger yang
seringkali saya lihat dipakai teman atau orang lain membuat saya makin bersemangat
karena akhirnya saya bisa membelinya langsung di Bali.
Salah satu tempat yang
menjadi surga belanja para wisatawan di Bali adalah Pasar Sukawati. Pasar yang
didirikan sekitar tahun 1980an ini memang selalu menjadi tujuan utama bagi
setiap wisatawan karena memang terkenal dengan berbagai macam oleh-oleh yang
bisa kita dapatkan dan harganya yang miring. Kamu mau beli kaus Joger KW 2,
kain batik khas Bali, salak Bali, kacang disko hingga lukisan hasil karya
seniman Bali, semuanya ada di Pasar Sukawati.
Seperti halnya di
pasar-pasar kebanyakan, seni tawar-menawar menjadi modal utama bagi kita agar
bisa mendapatkan harga yang lumayan miring. Oleh guide yang memandu perjalanan
kami, disarankan agar menawar hingga 1/3 dari harga yang ditawarkan oleh para
penjual. Misalnya sebuah kaus ditawarkan seharga Rp.60.000 maka kita harus
menawarnya seharga Rp.20.000. Tak perlu ragu apalagi takut dimarahi,
penjual-penjual di Bali sangat sabar kok. Jika tidak diberikan, pura-pura
tinggalkan saja pembelinya. Niscaya baru beberapa langkah kita menjauh, mereka
akan menurunkan harganya sesuai penawaran kita.
Yang juga nggak kalah
asyiknya, di Pasar Sukawati itu bebas copet lho. Hal ini berkaitan dengan
konsep Kharma Pala yang dianut masyarakat Bali. Penjual di Pasar Sukawati tidak
berani mengambil barang milik tetangganya atau barang milik pengunjung karena
mereka percaya bahwa nanti akan ada balasan yang lebih kejam atas perbuatan
curang mereka. Tapi bagaimanapun juga kita tetap musti berhati-hati karena saat
ini sudah cukup banyak penjual-penjual di Pasar Sukawati yang bukan penduduk
asli Bali.
Tiga kali pergi ke Bali
membuat saya menarik kesimpulan kalau mayoritas pedagang oleh-oleh di Bali
cukup sabar, tidak kenal menyerah dan cukup royal dalam menurunkan harga. Saya
pernah melihat bagaimana gigihnya ibu-ibu penjual kaus menawarkan barang
dagangannya kepada rombongan kami yang saat itu hendak makan siang di sebuah
restoran yang terletak di kawasan lereng Gunung Agung. Dengan wajah yang nampak
lelah dan mengkilap akibat berlama-lama berada di bawah terik matahari mereka
membuntuti kami mulai dari tempat parkir hingga masuk ke restoran. Beberapa
dari kami menanggapi namun sebagian besar memilih untuk acuh.
Saya kira dengan sikap
cuek kami itu mereka akan pergi dari restoran. Tapi dugaan saya salah, ibu-ibu
penjual kaus itu menawarkan lagi kausnya, bahkan mereka langsung menurunkan
harga. Satu-dua orang akhirnya kepincut dan membelinya. Yang belum dapat
pembeli nekat naik ke bus dan menurunkan harga lebih rendah lagi. Saya sendiri tidak
ikut tergoda karena meski hanya melihat sepintas namun saya tahu kalau bahan
kausnya tipis. Pantas saja harganya mereka turunkan dengan mudahnya.
Di antara teman-teman,
saya termasuk yang piawai menawar harga. Hal ini diakui sendiri oleh penjual
oleh-oleh yang mangkal di depan hotel tempat kami menginap.
“Wah Bli (sebutan untuk
Mas) pintar ya kalau menawar harga, sepertiga dari harga jual, pasti sudah
diajari Ibunya ya?”
“Aah enggaklah, masa
nawar aja diajarin Ibu,” jawab saya antara tersanjung dan malu. Karena
kepiawaian saya menawar harga, beberapa teman memilih untuk nitip beli sama
saya agar dapat harga yang miring juga.
Tapi saya pernah
mendapatkan pengalaman yang kurang menyenangkan dengan penjual di Pasar
Sukawati. Waktu itu saya lagi mencari oleh-oleh untuk para keponakan di seorang
ibu penjual kaus yang usianya sekitar 40 tahunan. Oleh-oleh yang saya buru
adalah kaus khas Bali. Dengan ramah dan penuh kesabaran si ibu mengambilkan
berbagai macam kaus yang ada di lapaknya. Namun sayang tak satupun yang
menarik, terutama dari segi gambarnya yang biasa saja. Sayapun menolak dengan
halus dan berniat pergi. Namun si ibu itu menahan saya dan menanyakan kaus
seperti apa yang saya inginkan. Sempat dilema juga antara tidak mau menyusahkan
si ibu dan menghargai usahanya untuk mendapatkan pembeli.
“Mau cari kaus yang
bagaimana, sebutkan saja, biar Ibu carikan,” tahan si Ibu dengan logat Balinya
yang khas.
“Tidak usah Bu, biar
saya cari di tempat lain saja.”
“Tolonglah, buat
penglaris.”
Karena luluh oleh ucapannya,
sayapun menyebutkan spesifikasi kaus yang saya inginkan. Untung saja teman saya
yang menemani belanja mau sabar menunggu.
Tak lama si ibu kembali
dengan membawa beberapa kaus, rupanya beliau mencarikannya di salah satu
temannya. Sayapun lalu melihat-lihat kaus tersebut.
“Maaf Bu, tidak ada
yang cocok, yang ini sablonannya malah kasar semua,” ucap saya akhirnya dengan
berat hati setelah memeriksa semua kaus itu.
Raut muka ibu penjual
yang tadi ramah dan sabar itu sontak berubah. Dengan ketusnya dia mengambil
kaus-kaus yang ada di pegangan saya. “Bilang saja kalau hanya mau lihat-lihat,
tidak niat beli!” hardik si ibu dengan ketusnya.
Sumpah, rasanya saya
mencelos sekaligus merasa bersalah demi mendengar ucapan ibu penjual tersebut. Daripada
bertambah runyam kami pun segera berlalu dari lapak, meninggalkan si ibu yang
masih saja menggerutu dan menyumpah serapahi saya. Di satu sisi saya merasa
bersalah karena udah membuat ibu itu marah dan kecewa namun di sisi lain saya
juga tidak mau dipersalahkan seratus persen. Sebelum ibu itu mengambil kaus di
lapak temannya, saya kan sudah berniat pergi dan melarangnya namun beliaunya
yang bersikeras menahan dan mencarikan kaus yang lain. Dan ketika kaus yang
diambilkan akhirnya tetap tidak sesuai dengan permintaan saya, haruskah saya
tetap membelinya?
Sampai sekarang rasa
bersalah itu masih tetap ada. Andaikan saya diberi kesempatan untuk ke Bali
lagi dan bertemu ibu pedagang kaus itu, saya ingin sekali meminta maaf dan
membeli kausnya. Semoga saya tidak terkena Kharma Pala dari beliau, aamiin.
Udahan ya sedihnya, mari sekarang kita pindah ke Yogyakarta.
Masyarakat Yogyakarta
terkenal dengan sopan santunnya yang tinggi dan nada bicara yang kalem, apalagi
yang wanita pasti lemah lembut. Begitupun dengan para penjual oleh-oleh di
sana, mereka akan melayani kita dengan sopan dan lemah lembut. Tapi untuk
urusan harga, ho ho ho mereka bisa dibilang raja tega. Waktu mendengar dari
guide-nya sih saya nggak percaya, masa sih orang Yogyakarta yang terkenal kalem
itu kalau jualan bisa jadi raja tega?
Bersama teman-teman
kerja, saya pergi berbelanja ke Pasar Beringharjo yang terletak di kawasan
Malioboro. Nama Pasar Beringharjo sendiri berasal dari kata bering (pohon
beringin) dan harjo (kesejahteraan), maksudnya diharapkan lokasi pasar yang
dahulu adalah hutan beringin ini dapat membawa kesejahteraan. Pasar Beringharjo
dikenal sebagai salah satu tujuan wisata yang merupakan surga bagi siapa saja
yang ingin berburu kain batik maupun produk garmen batik seperti baju, daster,
celana pendek, piyama dan lain sebagainya. Harga yang ditawarkan bervariasi,
mulai dari yang murah hingga yang mahal tergantung bahan dan kualitasnya.
“Mbak, celananya ini
berapa harganya?” tanya saya kepada seorang mbak-mbak penjual batik sambil
memegang sepotong celana pendek batik yang menarik perhatian saya.
“Empat puluh ribu.”
Waduh mahal banget,
batin saya.
“Nggak boleh kurang
Mbak?”
“Monggo ditawar,” jawab
Si Mbak dengan senyum ramahnya.
Sesuai dengan ilmu
tawar menawar yang saya dapat, saya pun mencoba menawar sepertiganya. Eh Si
Mbak langsung tersenyum simpul sambil berucap: “Mboten angsal Mas.”
“Pasnya berapa?”
“Tiga lima.” Duh pelit
banget turuninnya.
“Nggak deh, makasih,”
jawab saya pura-pura berjalan menjauh, sambil berharap Si Mbak akan menurunkan
lagi harganya. Tapi sampai saya pindah ke lapak lain, Si Mbak tetap aja cuek
bebek. Bener juga kata guide tadi, penampilan dan cara bicara boleh kalem tapi
urusan harga, no way!
Mahalnya harga
oleh-oleh dan makanan di kawasan Malioboro memang sudah menjadi rahasia umum.
Terakhir kali pergi ke Yogyakarta bersama istri tercinta, kami mencoba
berwisata kuliner di salah satu warung lesehan yang tiap malam ada di sepanjang
jalan Malioboro. Kami harus puas dan ikhlas makan bebek goreng yang kecil dan
dagingnya sedikit dengan harga hampir dua puluh ribuan. Padahal kalau di Malang
dengan harga yang sama bisa dapat bebek yang lebih besar.
Sahabat kami, Priyo,
yang notabene orang Yogyakarta asli mengakui sendiri akan mahalnya harga
oleh-oleh dan makanan di Malioboro. Bahkan sampai ada yang memplesetkan nama
Malioboro menjadi Maraiboros yang artinya menyebabkan boros. Kalau kalian ingin
menikmati kuliner yang murah meriah pergi saja ke warung-warung angkringan yang
ada di sebelah utara Stasiun Tugu, di sana kalian bisa menikmati berbagai macam
makanan khas Yogyakarta mulai dari nasi kucing sampai kopi arang dengan harga
yang ramah di kantong.
Okey, sekarang kita geser ke Barat yaitu ke Bumi Parahiyangan.
Selain disebut sebagai
Kota Kembang, Bandung juga dikenal sebagai Kota Belanja karena banyak sekali
tempat-tempat berbelanja seperti mall, distro dan Factory Outlet yang berdiri
di sana. Ada tiga tempat yang sangat populer di Bandung sebagai surganya FO
yaitu Factory Outlet Jalan Dago, Factory Outlet Rumah Mode dan Factory Outlet
Jalan Riau. Tapii karena keterbatasan waktu dan dompet (lebih utama yang kedua
sih) travelling saya ke Bandung lebih banyak dikonsentrasikan ke obyek-obyek
wisata. Salah satunya ke Gunung Tangkuban Perahu.
Di Tangkuban Perahu
tentu ada souvenir khas yang bisa kita dapatkan. Mulai dari kaus, slayer,
jaket, baju hangat, syal dengan hiasan/lukisan Tangkuban Perahu. Ada juga hasil
kerajinan batu-batuan yang berupa tasbih, kalung, gelang hingga cincin dengan
mata akiknya yang beraneka warna dan bentuk.
Nah saya punya
pengalaman lucu dengan salah satu penjual souvenir di sana. Waktu itu ketika
turun dari mobil omprengan yang mengangkut kami dari bawah sudah ada beberapa
penjual souvenir yang menghampiri kami. Salah satunya adalah Abang penjual topi
gunung yang mirip topi orang Eskimo. Mungkin karena saya terlihat kedinginan
sehingga saya menjadi target utama Si Abang.
“Ayo beli topinya,
hanya empat puluh ribu.”
Saya yang sebenarnya
tertarik dengan bentuk topi gunung yang unik itu mencoba untuk cuek bebek.
Okelah saya memang pengin tapi harga empat puluh ribu masih terlalu mahal buat
saya.
Bersama teman-teman
saya mulai berjalan menuju kawah. Eh Si Abang masih saja mengikuti saya.
“Tiga puluh ribu,
daripada kedinginan nanti di atas.” Si Abang berusaha membujuk, saya masih aja
pasang sikap cuek. Topi gunung putih itu terus saja diacung-acungkan ke arah
saya.
Merasa dicuekin terus,
Si Abang akhirnya pergi dan menawarkan topinya ke pengunjung yang lain. Sayapun
akhirnya bisa leluasa menikmati indahnya pemandangan alam di kawah Tangkuban
Perahu.
Eh ketika turun dari
salah satu bangunan pendopo, kami berpapasan lagi. Si Abang menawarkan lagi
barang dagangannya, kali ini diturunkan lagi menjadi dua puluh ribu. Entah
karena pengaruh hawa dingin atau lagi kumat jual mahalnya, saya tetap saja diam
sambil menggelengkan kepala.
“Ya udah sepuluh ribu,
buat penglaris,” ujar Si Abang mengeluarkan jurus terakhirnya.
Dan saya pun langsung
mengambil dompet dan membayarnya dengan uang pas. Rasanya beruntung banget deh,
bisa mendapatkan topi gunung yang unik itu dengan harga yang murah tanpa harus
susah-susah menawar. Salah satu teman yang mendengar cerita saya jadi gigit
jari karena dia membeli topi yang sama dengan harga yang lebih mahal.
Yang terakhir, kita ke ibukota tercinta kita: Jekarda.
Saya baru dua kali ke
Jakarta. Kunjungan pertama lebih banyak dihabiskan dengan mengunjungi berbagai
macam objek wisata, baru di kunjungan kedua saya mendapat kesempatan untuk
merasakan bagaimana perjuangan berburu oleh-oleh di Pasar Pagi Mangga Dua.
Mangga Dua memang
terkenal sebagai pusat perbelanjaan yang menyediakan berbagai macam kebutuhan
mulai dari mode, elektronik hingga kebutuhan rumah tangga dengan harga grosir.
Salah satu yang menjadi favorit konsumen adalah grosir tas-tas mewah. Banyak
alasan kenapa grosir tas di Mangga Dua begitu diminati, mulai dari stok barang
yang lengkap, model yang up to date
dan yang tak kalah penting adalah dari segi harga yang murah dan masih bisa
ditawar.
Bagi saya orang daerah,
selain harga yang murah, cara berkomunikasi para penjual di Mangga Dua cukup
unik. Ketika saya berjalan-jalan melihat setiap stand yang ada, setiap penjual
di sana dengan ramahnya menyapa saya.
“Mau cari apa Kak?”
“Silakan dilihat-lihat
Kak.”
“Boleh ditawar kok
Kak.”
Salah satu teman kantor
yang kebetulan ibu-ibu paruh baya tentu tak ketinggalan disapa. “Mau cari apa
Bunda?”
“Mari dilihat-lihat
Bun, tasnya bagus-bagus lho.”
Sumpah ya, bagi saya
rasanya jadi geli sendiri deh mendengar mereka memanggil saya Kakak, bahkan
makin menggelikan ketika mereka menyebut Bunda pada teman kerja saya. Buat saya
panggilan-panggilan itu terlalu personal. Atau ekstrimnya neh, saya
menganggapnya panggilan-panggilan itu kayak sok akrab banget.
Jadilah sepanjang acara
shopping di Mangga Dua itu kami tertawa-tawa sendiri tiap kali mendengar para
penjual itu memanggil kami. Mungkin itu salah satu cara mereka untuk memikat
konsumen, menghilangkan ‘jarak’ antara pembeli dan penjual. Satu jam berbelanja
mendadak rasanya jadi punya banyak
saudara di Pasar Mangga Dua karena panggilan Kakak dan Bunda tersebut.
Itulah pengalaman-pengalaman seru dan unik
saya ketika berburu oleh-oleh atau souvenir selama perjalanan saya mengunjungi
tempat-tempat wisata di Indonesia. Berbagai macam sifat dan karakter para penjual
souvenir yang saya temui setidaknya bisa mewakili sebagian kecil wajah
Indonesia, khususnya dunia pariwisata dan travelling. Bagaimanapun juga mereka
adalah salah satu ujung tombak yang menjadi penentu maju tidaknya dunia
pariwisata di Indonesia.
Referensi
Bali.yogyes.com
Jajanjajanhemat.com
Bandung.jacktour.com
Sangnanang.wordpress.com
Kerockan.blogspot.com
emangg yang paling antusias tu berburu oleh-oleh ya dimanapun tempatnya.. apalagi mangga duaa...banyak kaset vcd..eh ini bukan oleh2 ding
ReplyDeletewekekeke ketauan neh Mbak Nita sering hunting vcd di mangdu :P
DeleteSudah lama dan mungkin hampir insomnia terkait Oleh oleh. Setiap kali jalan, saya cuman cari dua hal. Snack khas daerah tersebut untuk Ibu tercinta dan Baju buat si kecil yang cakepnya luar biasa (mirip emaknya:)) hihihi. Selebihnya, hanyalah 'oleh oleh' yang terbingkai dalam jepretan kamera. (Baca : Bilang aja kalau pelit bawa oleh oleh) hehehe
ReplyDeleteAmnesia mungkin Mbak maksudnya he3
DeleteAah so sweet ibu dan anak tercinta tidak dilupakan saat travelling.
Hehehe iya oleh-oleh foto itu lebih 'berrbicara' ya Mbak sebenarnya :D
wah bisa nawar
ReplyDeleteasik tu buru oleh2 terus di pajang
@guru5seni8
http://hatidanpikiranjernih.blogspot.com
Bisa kok Mbak ditawar oleh-oleh di tempat wisata, tinggal kita nyiapin mental dan ilmu menawar. Seperti yang saya tulis di atas: Oleh guide yang memandu perjalanan kami, disarankan agar menawar hingga 1/3 dari harga yang ditawarkan oleh para penjual.
DeleteTrus itu gadis Bali-nya jadi dibawa pulang gak? :D
ReplyDeleteBerburu oleh-oleh emang selalu seru ya, Wan... Tapi kalo lagi backpacking, aku jarang borong oleh-oleh. Paling cuma beli buat kenang-kenangan sendiri aja, kayak magnet kulkas, gantungan kunci, juga postcard. Kalo beli banyak oleh-oleh, biasanya aku kirim lewat pos.. jadi gak berat-beratin bawaan, hehehe..
Kalau jadi bawa pulang gadis Bali ya sekarang nggak ada Mama Ivon dan Aim dong :D
DeleteWah idenya boleh juga tuh kirim oleh-oleh via pos, berkorban uang demi kenyamanan saat pulang ya Dee. Apalagi kalau naik pesawat kan ada batasan bagasi juga, kalau kelebihan ntar kena charge.
Iya, Wan.. aku sering kayak gitu soalnya... Kalo mau mudik juga gitu, oleh-oleh biasa kupaketin dulu, jadi aku pulang tinggal bawa ransel aja.. hehehe.. maklum, kalo mudik kan naiknya pesawat low cost carrier, gak termasuk bagasi :D
DeleteSelalu ada cerita dan pengalaman seru di balik acara berburu oleh-oleh ya Wan :)
ReplyDeleteHampir tiap orang yang bepergian ke suatu tempat pasti menginginkan oleh-oleh untuk dibawa pulang. Entah itu dalam bentuk makanan, souvenir, maupun pakaian. Aku sih paling suka makanan, biar pun kadang ada yg agak mahalan tapi tetap beli. Soalnya penasaran dgn rasanya :D
Kalau yang khas semacam kain tradisional, biasanya mesti liat2 isi dompet dulu soalnya oleh2 seperti ini harganya ga murah. Di satu sisi ingin menghargai kerajinan tangan anak negeri sambil melestarikan kain khas Nusantara, tapi di sisi lain mikir "duit di dompet cukup ga ya? " :D
Kalau pas ada rejeki pasti aku beli, kalau sdg ga bawa uang lebih, paling pesen (dibeli kemudian) trus minta dikirim di lain waktu :)
Kalau aku makanan sudah pasti harus beli sebab keluargaku termasuk keluarga besar apalagi temen kantor juga banyak, paling aman beli makanan bisa dibagi rata biarpun sedikit.
DeleteKalau untuk pakaian dan kain itu khusus keluarga inti kayak ibu, istri dan anak. Iya bener kain tradisional itu bagus-bagus namun mihil harganya karena pembuatannya sendiri tidak mudah ya Mbak.
Ibu-ibunya ngarep banget.. Seharusnya ngga boleh ngomong kasar dongs, apalagi sampek sumpah serapah gitu.. :(
ReplyDeleteYa karena ibunya belum dapat pembeli dagangannya sehingga kesel banget pas aya ga jadi beli.
DeleteEmang paling asyik beli oleh-oleh khas daerah, buat kenang-kenangan. Btw mas Ihwan seorang traveller sejati ya, keren bisa keliling pulau Jawa. Saya aja belum pernah ke Malang, tapi Mas Ihwan udah mampir ke Jakarta.... Huff..
ReplyDeleteOleh-oleh khas daerah selain buat kenangan-kenangan juga buat bukti kalau kita udah pernah ke sana.
DeleteWekekeke saya bukan traveler sejati Mas, hanya kebetulan saja di kantor tiap beberapa tahun sekali ngadain event wisata buat para staf. Saya doakan Mas Hendra diberi rejeki untuk bisa main ke Malang.
Maaf telat banget balasnya.
Tulisannya Bagus Om, kalo berburu memang kadang gelap mata..
ReplyDeletePemilihan Lokasi Untuk Peternakan Anak Ayam
Makasih Mas.
DeleteSelama trip sebulan, aku selalu jadi tokoh antagonis saat menawar wan haha aduh padahal selama di Indonesia aku jarang sekali begitu. Mungkin karena sudah terpikir di benak kalo belanja di sana pasti dimahalin >.<
ReplyDeleteOh yaa, kita sama kayaknya neh, wajah kalem tapi kalau nawar sadisss :D
DeleteBisa jadi sih secara wisatawan biasanya digenjot habis-habisan kalau belanja