Hari ini adalah sebuah tantangan bagi saya, tantangan untuk
mengalahkan rasa takut.
Rasa takut?
Iya benar, rasa takut. Takut jika saya tidak bisa memberikan yang
terbaik untuk anak-anak MI Nurul Huda, Buring, Malang. Sekolah dimana saya
menjadi relawan pengajar pada Kelas Inspirasi Malang 3.
Saya tidak memiliki latar belakang sebagai pengajar sama sekali,
apalagi mengajar anak-anak yang tantangannya tentu jauh lebih besar. Namun
keinginan untuk ambil bagian dalam Kelas Inspirasi Malang 3 mengalahkan rasa takut
tersebut. Saya memang bukan siapa-siapa, hanyalah seorang pegawai perpustakaan
yang juga tidak mempunyai latar belakang pendidikan pustakawan.
Namun saya ingin berbagi cerita tentang profesi yang sudah saya
geluti selama 15 tahun ini kepada generasi penerus bangsa. Kehadiran
perpustakaan sangatlah penting bagi dunia pendidikan ibarat jantung di dalam
tubuh manusia, itulah sebabnya dibutuhkan calon tenaga-tenaga pustakawan yang
berasal dari generasi yang sekarang. Agar nantinya perpustakaan di masa depan
makin maju dan terdepan dalam memberikan informasi dan ilmu pengetahuan bagi
masyarakat.
Bersyukur sekali saya karena dikelompokkan bersama teman-teman yang
mempunyai semangat dan dedikasi yang tinggi untuk menjadi relawan di Kelas
Inspirasi. Rombel 53, itu nama kelompok saya. Di antara 4 pengajar yang hadir
hari ini, hanya saya yang asli Malang. Tiga pengajar lainnya berasal dari
berbagai kota yang jauh dari Malang. Ada Mas Hengky, seorang apoteker murah
senyum yang bekerja di perusahaan swasta di Lawang. Mbak Iffa, sang bidan
energik dan Mbak Wenny, pegawai Pertamina penyayang anak, keduanya berasal dari
Jakarta. Trus ada juga deretan fotografer dan videographer keren: Mas Gabby,
Mas Edy dan Mas Bobz. And the last but
not least, Mbak May dan Mbak Zurra, duo fasil yang telah bekerja keras
membantu dan memfasilitasi kami. Kehadiran mereka semua menjadi pelecut
semangat tersendiri bagi saya. Kalau mereka yang dari luar Malang saja begitu
bersemangat untuk berbagi inspirasi, mengapa saya tidak?
Wajah-wajah polos dan lucu itu menatap kami dengan berbagai macam
ekspresi, mungkin dalam benak mereka bertanya-tanya apa yang akan kami lalukan
di sekolah tempat mereka menuntut ilmu. Saya menatap bangunan sekolah MI Nurul
Huda yang tampak sederhana. Di depan sebuah kelas tampak gundukan pasir,
sebagian bangunan memang sedang direnovasi. Saya tidak percaya di daerah yang
masih termasuk wilayah Kotamadya Malang masih ada sekolah dasar dengan kondisi
yang boleh dibilang jauh dari kesan maju.
Demikian juga dengan lingkungan tempat MI Nurul Huda berada,
layaknya sebuah desa terpencil dengan kondisi jalan yang belum diaspal dan
sebagian besar rumah penduduknya sederhana dimana di belakang rumah setiap
penduduknya memiliki ladang. Mayoritas penduduk Desa Buring adalah orang Madura
dan memiliki mata pencaharian berladang. Yang lebih memprihatinkan, penduduk
Desa Buring menganggap pendidikan bukanlah hal yang penting bagi anak-anaknya.
Menurut penuturan dari Ibu Ayu Suhita Chandra, SPd, Kepala Sekolah MI Nurul
Huda, rata-rata remaja Desa Buring akan dinikahkan atau bekerja di ladang
setelah lulus dari bangku SMP. Jarang sekali yang melanjutkan ke bangku SMA.
Hati saya pilu mendengarnya, rasanya tidak percaya jika di zaman sudah maju dan
serba digital ini masih ada orang tua yang memiliki mindset yang sempit dan kuno seperti itu.
Setelah acara apel pagi dan pengenalan tentang Kelas Inspirasi
kepada semua siswa, kami pun mulai melaksanakan tugas sesusai rundown yang sudah disusun oleh
fasilitator dan ketua Rombel 53, Mas Gabriel. Di jadwal pertama saya kebagian
jadwal mengajar di kelas 4. Setelah mengambil semua ‘alat tempur’ yang tadi
saya taruh di ruang guru, saya pun lalu berjalan menuju ruangan kelas 4.
Saya belum pernah survey langsung ke MI Nurul Huda, hanya melihat
dari video yang dikirimkan Mas Gabby di grup wasap. Di H-1 saya menyempatkan
diri untuk survey ke lokasi namun
karena sempatnya setelah pulang kerja, sesampainya di sana hari sudah petang
dan tidak memungkinkan untuk mendatangi sekolah karena di sana tidak ada penerangan
sama sekali. Nah hari ini ketika melihat langsung kondisi sekolah dan anak-anak
itu, rasa takut yang semula saya rasakan langsung sirna. Ada panggilan dari
dalam hati yang begitu kuat untuk ingin segera masuk ke kelas dan memulai hari
inspirasi. Itulah sebabnya kenapa langkah kaki saya begitu ringan dan hati ini
begitu bersemangat ketika memasuki ruang kelas 4.
Setelah murid-murid selesai membaca doa, saya pun lalu memulai hari
inspirasi dengan memperkenalkan diri. Agar lebih mudah bagi para pengajar mengenali
murid-murid, para fasil memberikan tanda pengenal berupa ikat kepala dari
kertas dengan bintang di tengahnya. Nah para murid dipersilakan menuliskan
namanya di bintang tersebut.
Saya membuka komunikasi dengan bertanya kepada mereka siapa yang suka
membaca buku. Beberapa murid mengacungkan tangan, wah saya senang melihatnya.
Semula saya pesimis bakalan ada yang mengacung karena menurut keterangan Bu
Ayu, sekolah mereka belum memiliki perpustakaan. Ada sedikit buku-buku bacaan
yang ditaruh di ruang kelas 3.
Setelah mereka mulai terbuka dan mau diajak mengobrol tentang buku
bacaan kesukaan mereka, saya pun lalu kemudian menerangkan tentang profesi dan
tempat kerja saya. Mereka tampak antusias mendengarnya. Biar lebih menarik
mereka, saya pun memutarkan video profil Perpustakaan Pusat Universitas
Brawijaya. Anak-anak pun berebut ingin maju mendekati laptop. Namun ada seorang
anak perempuan yang tetap diam di tempat duduknya.
“Lho Dik, ayo ke sini juga, nggak apa-apa,” ajak saya.
Anak itu tak merespon ajakan saya.
“Dia itu pikirannya ndak sama kayak kami Kak,” celetuk Rizky dengan
logat Maduranya yang kental, dia dari tadi paling aktif di antara
teman-temannya.
“Nggak sama gimana maksudnya?” tanya saya keheranan.
“Pokoknya kata Bu Ayu, si Ana itu pikirannya ndak sama kayak kami.”
Seketika saya teringat dengan penjelasan Mbak May di grup bahwa di
MI Nurul Huda ada dua orang murid yang memiliki kebutuhan khusus yaitu di kelas
4 dan 6. Apakah anak itu yang dimaksud oleh Mbak May.
Saya kemudian berjalan mendekati anak perempuan berjilbab hitam itu.
Saya baca nama di tanda pengenalnya. Karena namanya panjang saya pun lalu
bertanya nama panggilannya.
“Nama panggilannya siapa Dik?”
Gadis itu menatap saya tanpa ekspresi, membuat saya jadi bingung
sendiri.
“Ana,” jawabnya pelan. Agak lama saya menunggu jawaban darinya.
“Ayo Ana ikut maju ke depan, kita lihat video bareng.”
Ana hanya terdiam, setelah agak lama barulah dia berdiri dan ikut
bergabung bersama teman-temannya. Inilah potret pendidikan di desa terpencil, seorang
anak yang memiliki kebutuhan khusus terpaksa harus belajar di sekolah umum
dikarenakan ketiadaan sekolah khusus bagi mereka. Ya Allah, pastilah sangat
sulit bagi Ana untuk menyesuaikan diri dengan teman-teman dan menerima
pelajaran seperti anak normal lainnya.
Setelah selesai menjelaskan tentang seluk-beluk profesi pustakawan
dengan bahasa yang bisa mereka pahami, saya mengajak mereka melakukan simulasi
menjadi pustakawan di Bagian Sirkulasi yaitu melayani peminjaman buku. Saya
senang sekali ketika anak-anak tampak antusias ingin mencoba. Apalagi ketika
melihat buku-buku anak yang saya bawa, mereka berebut ingin membacanya.
Sebenarnya buku belajar mewarnai dan berhitung itu saya peruntukkan bagi
anak-anak kelas 1 dan 2. Namun karena ada perubahan jadwal mendadak dikarena
satu relawan pengajar mendadak tidak bisa datang maka jadwal saya ditukar
dengan kelas 4.
Simulasi berjalan dengan lancar, anak-anak bisa memperagakan apa
yang saya contohkan dengan baik. Pun ketika saya memberikan kuis seputar profesi
saya, mereka juga berebut menjawab dan jawaban mereka benar semua. Saya sampai
bingung memilih siapa yang paling cepat menjawab. Anak-anak MI Nurul Huda,
meski bersekolah di sekolah yang tertinggal namun semangat belajar dan potensi
mereka sebenarnya tidak kalah dengan anak-anak di perkotaan. Mereka hanya tidak
beruntung saja hidup di desa yang terpencil dengan pola pikir orang tua yang
menganggap pendidikan tidak terlalu penting bagi anak-anak mereka.
Itulah sekelumit cerita saya di Hari Inspirasi, 21 November 2015
yang lalu. Meskipun hanya sehari, namun kebersamaan singkat bersama anak-anak
MI Nurul Huda akan menjadi salah satu kenangan terindah di dalam hidup saya.
Semoga mereka pun juga merasakan hal yang sama. Saya tidak bisa membayangkan
apakah saya bisa seceria dan bersemangat seperti mereka bila ditakdirkan hidup
di desa yang terpencil seperti mereka. Doa saya, semoga anak-anak Desa Buring
tetap bersemangat dalam menempuh pendidikan dan mengejar cita-cita mereka.
Semoga masa depan mereka akan jauh lebih baik dari saya, aamiin.
NB: semua foto-foto yang dipergunakan adalah dokumentasi pribadi.
Masih dengan pemikiran yang sama, ya. Anak anak gadis dinikahkan.titik. nggak pakai kuliah. Semoga dengan adanya kelas Inspirasi kayak gini bisa bener bener menginspirasi dan mengubah pemikiran yang ada. Biar Indonesia lebih maju.
ReplyDeleteIya Mbak, kasian anak-anak itu. Para orang tua juga perlu sebenarnya diberi pengarahan atau semacam kelas inspirasi buat ortu juga agar pikiran mereka terbuka akan pentingnya arti pendidikan.
DeleteWah, pengalaman yang sangat menginspirasi. Semoga mereka tetap semangat mengejar impian mereka meski hidup didaerah terpencil :D
ReplyDeleteThanks udah share..
Bener Mbak, bukan hanya mereka, saya pun juga terinspirasi dengan semangat dan keceriaan mereka. Aamiin, makasih doanya.
DeleteKapan-kapan kayaknya aku harus coba KI di kota lain. Pingin ngerasain gimana rasanya hehe.
ReplyDeleteGimana kalo tahun depan coba di Malang Yan, ntar bisa serombel sama aku. Menyebar inspirasi sekalian kita kopdar he3 modus.
DeleteNiatnya emang gitu wan, sekalian jalan-jalan, ayeeyy :D
DeleteKI Batam, Yan.. :)
DeleteKemaren 2 orang relawan KI Batam ada yang gabung KI Palembang looh...
Asyik banget bisa belajar jadi pustakawan juga. Mau dong diajarin, penasaran banget. :D
ReplyDeleteSetahu saya sekarang ini pemerintah malah mengarahkan anak2 berkebutuhan khusus untuk bisa bersekolah bersama anak2 umum, istilahnya inklusi, agar mereka juga mampu beradaptasi di luar sekolah nantinya dan teman2 lain juga belajar menerima perbedaan. Cuma, bbp sekolah inklusi biasanya disertai guru pendamping atau bisa juga memilih guru pendamping sendiri *cmiiw
ReplyDeleteSelalu seru mengikuti cerita para relawan KI :)
ReplyDeleteKalo dari pengalamanku, justru anak-anak di daerah hinterland yang punya semangat belajar dan rasa ingin tau berlebih. Kalo yang udah tinggal di kota agak-agak cuek gitu siih..
Moga semakin menginspirasi banyak orang dan bertambah banyak relawan-relawan muda dan bersemangat untuk pendidikan yang lebih baik :)
ReplyDeletesalut mas.... jarang yg mau melakukan hal spt itu
ReplyDeleteMasih bermimpi untuk jadi relawan KI mas (kapan yaaa), anak2 MI pasti seneng sekali ya dibawakan buku sama Mas Ihwan, lanjutkan perjuanganmu mas :)
ReplyDelete