Terminal Arjosari (sumber foto: http://mediacenter.malangkota.go.id) |
Drama di Terminal Arjosari
Setelah menempuh perjalanan dari rumah ke Terminal Arjosari yang
bikin hati kebat-kebit karena takut ketinggalan bus, kami berempat akhirnya
sampai di Terminal Arjosari pukul 19.57. Sambil menggendong Aim dan menenteng
koper saya berjalan dengan cepat menuju loket bus. Langkah saya terhenti
sebelum sampai di loket karena ada kerumunan orang yang tampak sedang berbicara
dengan cukup serius. Saya menurunkan Aim dan mencoba menuju loket dengan
berjalan di sela-sela kerumunan.
“Bu, busnya belum berangkat kan?” Tanya saya pada ibu-ibu yang
melayani pembelian tiket bus malam kami tadi siang.
“Belum Mas, AC busnya korslet. Itu para penumpang masih berunding
dengan penyedia busnya.”
Hah? AC busnya KORSLET??
Duh halangan apalagi ini!
Saya lalu beringsut menuju kerumunan itu lagi.
“Jadi pilihan saya serahkan kepada Bapak dan Ibu semua, apakah tetap
akan pergi ke Solo dan Yogya dengan AC mati atau membatalkan perjalanan.”
Seorang pria berbadan gemuk berbicara di tengah kerumunan, dia pasti penyedia
bus yang akan kami naiki.
“Yang benar saja Pak, perjalanan Malang-Solo itu jauh. Kami bisa
mati kepanasan!” sahut calon penumpang di sebelah saya.
“Enak saja Bapak main batalin perjalanan, saya sudah persiapan
matang dari kemarin!” seorang ibu tak mau kalah ikut protes dengan wajah penuh
emosi. Di samping wanita itu ada tas koper besar dan beberapa kardus.
“Trus Bapak dan Ibu maunya gimana? Saya juga tidak mau kejadian
seperti ini. Saya kemarin sudah mempersiapkan bus tambahan untuk Anda semua,
tapi ternyata AC-nya mendadak korslet. Saya hanya bisa memberikan dua opsi
tersebut.”
Para penumpang menggerutu mendengar penjelasan si Bapak gemuk. Kami
semua mengalami dilema, termasuk Keluarga Biru. Di satu sisi kami ingin segera
tiba di Solo esok hari namun di sisi lain kami juga khawatir dengan keselamatan
kami nanti, apalagi ada Aiman yang pasti tidak tahan dengan kondisi bus yang
panas.
“Apa nggak ada bus malam yang lain Pak?” saya mencoba menanyakan
opsi yang lain.
“Nggak ada Mas, semua bus malam sudah habis. Anda semua termasuk
beruntung karena mendapatkan bus tambahan.”
Iya awalnya merasa beruntung Pak, tapi kalau kejadiannya jadi kayak
gini, beda lagi ceritanya. Para penumpang mulai terpecah menjadi dua kubu, kubu
satu nekat pergi dengan bus yang AC-nya mati dan kubu satunya lagi mau
membatalkan perjalanan.
“Ada apa ini kok ramai-ramai?” Mendadak muncul seorang lelaki
berambut gondrong dengan suara yang lantang.
Bapak penyedia bus kemudian menghampiri lelaki gondrong itu dan
berbicara dengan serius. Tak lama si Bapak kembali lagi ke kerumunan penumpang.
“Bapak dan Ibu, saya ada tawaran yang lain. Kita bisa tetap
berangkat ke Solo dan Yogya tapi memakai bus non AC. Sebagai kompensasinya
nanti saya akan mengembalikan Rp.10.000 kepada Anda semua. Bagaimana?”
“Masa hanya sepuluh ribu Pak? Yang bener aja!”
“Iya, selisih bus AC dan non AC itu tiga puluh ribu!”
Tadinya kami sudah mau bernafas lega namun mendengar kompensasi yang
terlalu kecil itu suasana menjadi tegang lagi. Seumur-umur saya bepergian
dengan bus malam, baru kali ini mengalami drama kayak gini.
“Kalau tiga puluh ribu saya tidak sanggung. Sudah ini yang terakhir,
dua puluh ribu. Silakan pilih tetap pergi atau batal?”
“Ya segitu masih mending.”
Fiuuh rasanya lega banget, akhirnya kami mendapatkan solusi dan
titik temu yang cukup membuat kami sebagai penumpang merasa dihargai. Berakhir
sudah drama di Terminal Arjosari tercinta ini, beeuh. Kalau ditanya, apakah
kami puas, ya sebenarnya nggak puas juga. Di awal kami dijanjikan naik bus
wisata, eh sekarang malah naik bus non AC. Kalau hanya Malang-Surabaya sih
nggak apa-apa, ini perjalanan jauh antar propinsi. Nggak apa-apa deh daripada
batal perjalanannya.
Blessing in Disguise
Semilir angin malam yang bertiup dari jendela-jendela bus mengiringi
kepergian kami dari Terminal Arjosari. Hawa panas dan gerah yang kami rasakan
perlahan mulai berkurang. Bus non AC yang kami naiki ini kondisinya tidak layak
untuk menempuh perjalanan jauh antar propinsi. Bus ini mengingatkan saya pada
bus bagong yang biasa kami naiki jika mudik ke Blitar. Kondisinya body-nya
sudah keliatan tua, kursinya keras dan jarak antar kursi juga sempit.
Tapi saya mencoba berkompromi dan mensyukuri keadaan ini, yang
penting kami bisa tetap berangkat ke Solo malam ini. Untung saja hujan deras
yang tadi mengguyur kini sudah reda, jadi meski jendela dibuka kami tidak
khawatir akan kebasahan.
Ngomong-ngomong soal basah, celana saya yang sejak dari rumah basah
karena air hujan tidak terasa begitu dingin. Ya iyalah, wong busnya non AC dan
hawanya agak gerah. Dan yang paling penting saya tidak perlu khawatir akan
mabuk perjalanan. Kelebihan lain jika naik bus non AC adalah setiap kali bus
berhenti di terminal atau perempatan jalan dekat terminal pasti ada pedagang
asongan yang menawarkan berbagai macam makanan. Mulai dari cemilan ringan
seperti kacang goreng dan tahu goreng, minuman dingin hingga makana berat
seperti nasi bungkus. Rasanya bersyuku banget kalau ada pedagang asongan ini
manakala perut keroncongan karena tidak sempat makan.
Malahan kemarin ada pedagang asongan yang menjual permen minyak kayu putih. Sudah lamaa banget nggak makan permen yang penuh manfaat ini. Dulu ketika kecil saya suka sekali makan permen minyak kayu putih bila diajak nenek atau bibi ke toko penjual jamu. Selain rasanya yang enak, permen minyak kayu putih ini juga efektif mencegah masuk angin dan mabuk perjalanan. Ini benar-benar blessing in disguise buat saya pribadi he he he.
Alhamdulillah Aim juga tidak rewel di sepanjang perjalanan, dia
tetap enjoy dan ceria. Syukurlah neh anak kayak mamanya yang fisiknya kuat
kalau menempuh perjalanan, tidak mabuk perjalanan seperti saya. Mungkin juga
karena sejak umur tiga bulan Aim sudah biasa menempuh perjalanan mudik ke
Blitar baik itu naik motor, mobil ataupun bus. Setelah beberapa jam bercanda
dengan saya dan Mama Ivon, Aim akhirnya tertidur di pangkuan saya. Saya sendiri
agak susah tidur jika sedang menempuh perjalanan, apalagi kursi di bus non AC
ini keras bikin pantat kami cepat sekali terasa sakit. Nggak apa-apa deh saya
tetap terjaga, buat jaga-jaga jika nanti terjadi apa-apa di sepanjang
perjalanan.
Aim sedang terlelap. |
Laju bus yang membawa kami ke Solo saya rasakan mulai melambat. Tak
lama kemudian bus menepi dan berhenti di pinggir jalan. Saya dan penumpang
lainnya yang masih terjaga menjadi bertanya-tanya ada apa gerangan. Mesin bus
pun dimatikan total. Saya hanya bias berdoa semoga tidak terjadi drama lagi
dalam perjalanan ini.
Apakah gerangan
yang terjadi dengan bus yang kami naiki? Apakah ada perampok yang menghadang
perjalanan kami? Nantikan kelanjutannya di tulisan berikutnya ya.
Baca sebelumnya: Duka di Penghujung Tahun#1
Aih... masih bersambung lagi
ReplyDelete*Gelar tikar, siapin kacang goreng dan kopi, menunggu lanjutannya
Weekekeke habisnya emang panjang Mbak, kalau ditulis dalam satu tulisan bisa scrolling mpe pegel.
Delete*kasihsingkonggoreng*
Waaaaa bersambung lagi
ReplyDeleteBaiklah siap menanti lanjutannya
Ahahahaha, silakan duduk di samping Mbak Nanik.
Delete*kasihtehamasingkong
Kebayang kecewanya naik bus ga sesuai harapan :)
ReplyDeleteTapi jadinya blessing in disguise kok Mbak :-)
DeleteWan turut berduka cita ya. Pasti sedih banget mama Ivon nggak bisa ngejenguk karena jauh di HK sana. Semoga amal ibadah nenek diterima Allah Swt amin
ReplyDeleteAamiin YRA, makasih doanya Yan.
DeleteAim pinter yo? Gak kaya; kita yang suka teler di jalan.
ReplyDeletekalimat endingnya koq nyeyeremin banget, wan :D
ReplyDeleteWah sambungannya bikin penasaran, ditunggguuuuu
ReplyDeletepermen minyak kayu putih kayak apa sih?
ReplyDeleteGw paling agak kurang nyaman kalo naik bus trus ada pedagang yg masuk nawarin ini itu, pingin nya sech duduk di bus trus tidur hehehe
ReplyDelete