Foto terakhir bersama Mbah Kinah (paling kiri) |
Di penghujung tahun 2015 kemarin Keluarga Biru mendapatkan kabar
duka dari Solo. Mbah Kinah, neneknya Mama Ivon yang tinggal di Matesih, Solo
harus dirawat di rumah sakit karena terkena penyakit jantung. Yang lebih
membuat kami bersedih, tidak ada sanak keluarga yang mendampinginya, bahkan
yang melarikannya ke rumah sakit adalah para tetangganya. Mbah Kinah memang
selama ini hidup seorang diri, ketiga anaknya tinggal berjauhan. Anak pertama
yakni ibu Mama Ivon tinggal di Blitar, anak kedua menetap di Jakarta dan yang
terakhir bermukim di Bandung.
Kabar Duka dari Solo
Mbah Kinah memang memiliki riwayat penyakit darah tinggi, setahun
yang lalu beliau pernah terkena serangan stroke. Alhamdulillah waktu itu Mbah
Kinah masih bisa bertahan, meski sempat drop dan selama beberapa waktu hanya
bisa memakan bubur namun Mbah Kinah bisa pulih seperti sedia kala. Beliau bisa
bekerja kembali mencari kayu dan rumput di hutan serta memelihara kambing dan
ayam peliharaannya.
Meski sudah usia lanjut namun Mbah Kinah termasuk wanita pekerja
keras, beliau tipe orang yang tidak bisa duduk manis berdiam diri di rumah. Nah
setelah terkena sakit itu bila kepalanya pusing beliau biasanya meminum obat
pereda sakit kepala yang dijual bebas di toko. Hal itu sebenarnya tidak baik,
meski kami sudah beberapa kali mengingatkannya agar tidak terlalu sering
meminum obat sakit kepala tersebut. Namun karena beliau sehari-hari sendirian
maka tidak ada yang bisa mencegahnya secara langsung sehingga konsumsi obat
sakit kepala itu masih sering dilakukan.
Aim membantu Mbah Kinah menyiram bunga |
Mendengar berita jika Mbah Kinah sakit bahkan sampai harus dirawat
di rumah sakit tentu saja membuat kami bersedih. Apalagi bulan Agustus
sebelumnya kami terakhir kali main ke sana kondisi Mbah Kinah masih sehat. Ibu
mertua tak henti-hentinya menangis, kondisinya yang masih bekerja di Hongkong
membuat beliau tak bisa menjenguk Mbah Kinah. Kami pun segera menyusun rencana
untuk pergi ke Solo. Saya sebenarnya mengkhawatirkan kondisi Mama Ivon yang
selama ini masih suka ngedrop, apakah kuat menempuh perjalanan jauh
Malang-Solo. Belum lagi di sana nanti kami harus tinggal di rumah sakit,
bagaimana nanti dengan Aiman. Tapi di satu sisi kami juga tidak mungkin
membiarkan Mbah Kinah sendirian. Apalagi kedua paman Mama Ivon susah sekali
dihubungi. Bismillah, kami memantapkan hati untuk pergi ke Solo. Adik ipar
kami, Ipin yang tinggal di Surabaya ternyata juga mau ke sana, hal ini makin
menambah kemantapan hati kami.
Allah Lebih Menyayangi Mbah Kinah
Rencana pun dimatangkan, Ipin akan pergi bersama kami dari Malang
karena dia belum pernah mengunjungi Mbah Kinah. Rencana awal kami mau naik
kereta api agar perjalanan tidak terlalu berat namun sayang ternyata tiket
kereta api ekonomi jurusan Malang-Solo sudah habis. Maklum, karena saat itu
libur panjang dimana ada dua hari besar agama yang berurutan yaitu Maulid Nabi
Muhammad dan Natal 2015. Nah kami berangkat hari Kamis tanggal 24 Desember 2015
saat Maulid.
Rencana diubah, kami akan naik bus malam. Namun belum sempat saya
mencari tiket bus malam, kami mendapatkan kabar yang mengejutkan: Mbah Kinah
berpulang ke rahmatullah. Memang sehari sebelumnya kami mendapat kabar terbaru
jika kondisi Mbah Kinah makin menurun sehingga harus dirawat di ruang ICU. Mama
Ivon pun mengusulkan agar keberangkatan ke Solo dimajukan hari itu juga. Ketika
jam istirahat saya pun keluar mencari tiket bus malam.
Berburu Tiket Bus Malam
Saya mencari tiket bus malam di deretan travel yang berada di
sebelah utara Stasiun Kota Baru Malang. Sebelas-dua belas dengan kereta api,
tiket bus malam pun sudah banyak yang habis. Saya kemudian lanjut ke kantor bus
malam yang ada di kawasan Hamid Rusdi, sama saja ternyata hasilnya. Oleh salah
satu pegawainya saya disarankan mencari tiket bus malam langsung di Terminal
Arjosari. Seusai mengganjal perut dengan semangkuk bakso saya langsung cabut
menuju Terminal Arjosari yang jaraknya lumayan jauh juga. Tak lupa saya
memberitahu teman kerja satu bagian jika saya balik telat.
Setibanya di Terminal Arjosari saya langsung menuju deretan penyedia
jasa bus malam, tiap loket tampak penuh dengan para calon penumpang. Saya mencoba
bertanya di loket paling ujung, ternyata habis. Loket sebelahnya, habis juga.
Duh gimana ini kok pada habis semua.
Saya kemudian beralih ke loket yang berada di seberang. Saya
membaca-baca dulu list tujuan bus malam di loket yang berada persis depan saya.
Lalu mendadak ada ibu-ibu dari loket sebelah yang memanggil saya.
“Mau cari bus kemana Mas?”
“Ke Solo?”
“Sini masuk aja Mas, saya ada busnya.”
Saya pun langsung masuk begitu mendengar ucapan ibu tersebut.
“Buat nanti malam ada Bu?”
“Ada, untuk berapa orang?”
Rasanya lega sekali karena bisa mendapatkan tiga tiket bus malam
Malang-Solo dengan harga yang masih terjangkau. Menurut ibu itu, semua bus
malam sudah full. Bus yang ditawarkan kepada saya adalah bus tambahan, meskipun
begitu tetap memakai AC karena merupakan bus pariwisata. Saya pun kembali ke
tempat kerja dengan hati tenang, tinggal minta ijin ke bos untuk tidak masuk
besok harinya.
Nyaris Ketinggalan Bus
Jam sudah menunjukkan pukul 18.30 namun taksi yang kami tunggu belum
kunjung datang, padahal bus malam yang akan kami naiki berangkat pukul 19.00.
Dengan jarak yang cukup jauh dari rumah ke Terminal Arjosari plus kondisi
liburan yang rawan macet saya khawatir kami akan ketinggalan bus. Ditambah
lagi, setelah maghrib mendadak Malang diguyur hujan yang deras banget. Hati
saya rasanya nggak tenang, rasanya kebat-kebit mulu ketika melihat jarum jam
yang terus bergerak maju.
Sopir taksi menelpon, dia meminta petunjuk arah menuju rumah kami.
Dia juga meminta kepada saya untuk keluar agar dia bisa melihat jika sudah
berada di gang rumah kami. Dengan membawa payung
saya keluar menuju ujung gang, tak lupa saya menggulung celana agar tidak basah
terkena air hujan yang semakin deras saja. Saya telpon balik sopir taksinya
namun tak ada jawaban. Karena payungnya kecil dan hujan makin ganas, celana
saya tetap basah meskipun sudah saya gulung. Hati saya baru agak lega setelah
melihat lampu taksi dari kejauhan, saya langsung melambai-lambaikan tangan memberi
petunjuk kepada sopir taksi tersebut.
Begitu taksi itu mendekat saya pun setengah berlari kembali ke
rumah, mungkin karena gulungan celana saya kurang kencang sehingga terlepas dan
akibatnya celana yang saya pakai basah oleh air hujan. Saya sudah tidak
memikirkan hal itu, yang ada di pikiran saya segera berangkat menuju terminal.
Sialnya taksi tak bisa berhenti mepet dengan teras rumah, maka saya
lah yang menjadi perantara yang lain masuk ke dalam taksi. Yang pertama saya
masukkan ke dalam taksi Aiman. Eh kok mendadak lampu mati sehingga suasana
menjadi gelap. Aiman yang terkejut melihat sekelilingnya gelap gulita jadi
menangis, keadaan jadi makin membuat panik saja. Kami pun segera masuk semua ke
dalam taksi, kami bertiga di kursi belakang sedangkan Ipin (adik ipar) duduk di
kursi depan. Untung Bulek Min tadi ikut membantu kami bersiap-siap sehingga
beliau yang mengunci rumah dan pintu pagar kami, jadi tidak terlalu khawatir
meninggalkan rumah dalam keadaan gelap dan hujan lebat.
Ketika sudah di dalam taksi saya baru sadar kalau celana saya sudah
basah kuyup hingga selutut, untung saja saya memakai jaket sehingga kaus yang
saya pakai tidak ikut basah. Saya langsung kepikiran yang enggak-enggak, hanya
bisa pasrah kalau nanti di dalam bus kedinginan dan mabuk karena AC. Kondisi
badan saya pun juga sebenarnya kurang fit karena dua minggu sebelumnya sudah
bepergian dua kali dan dua-duanya mengalami mabuk perjalanan.
Saya meminta sopir taksi untuk agak ngebut, sempat komplen juga
mengapa datangnya lama sekali. Ternyata orderan kami tadi dilelang karena
banyak sopir taksi yang tidak berminat, alasannya lokasi jauh plus hujan deras.
Jam di taksi menunjukkan pukul 18.40, membuat saya makin khawatir dan malas
berdebat lagi. Saya hanya bisa menghela nafas dan berdoa semoga tidak sampai
ketinggalan bus. Sementara itu hujan di luar sana masih saja turun dengan derasnya.
Nantikan cerita
kami selanjutnya ya dimana banyak sekali rintangan yang kami hadapi dalam
perjalanan Malang-Solo.
Semoga almarhumah mbak kinah di terima di sisi Allah dan di lapangkan jalan nya Amien
ReplyDeleteAamiin YRA, makasih doanya Om.
Deletesaya jadi ikut deg-degan membaca ceritanya. Ditunggu kelanjutannya :)
ReplyDeletePas kejadian lebih deg-degan Mbak, berasa pengin punya lorong waktu. Oke, ditunggu ya :D
DeleteWah saya nunggu lanjutannya nih
ReplyDeleteKayaknya bakalan mirip deg-degan sama postingan aku tempo hari hehe
Hihihi kok kita bisa ngalami kejadian yang sama ya Mbak. Oke, tadi sengaja saya cut sebab udah panjang banget nulisnya.
DeletePerjalanan yang penuh liku-liku.
ReplyDeleteIni masih belum seberapa Nis, tunggu kelanjutannya.
Deletesemoga mbak Kinah cepat sehat
ReplyDeleteMbah Kinah maksudnya, maaf
DeleteMbah Kinah kini sudah tidak merasakan sakit lagi Mbak karena Allah lebih menyayanginya.
DeleteTurut berduka ya mas. Semoga beliau tenang di sana sekarang.
ReplyDeleteAamiin, makasih doanya Mas Febri.
Deleteinnalillahi wainna ilaihi rojiun, aku jg punya mbah namanya mbah kinah (adeknya mbah uti), juga sdh meninggal. mbah kinah ini suka mijat cucu n cicit2nya kl lg meriang.
ReplyDeleteJadi ingat dulu saya kalau sakit dirawat Mbah biasanya cepet sembuh. Yang namanya Mbah atau Buyut emang biasanya lebih sayang sama cucu or cicit.
DeleteInnalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mbah Kinah sudah tenang bersamaNya ya Wan.
ReplyDeleteAku deg2an ih baca cerita perjalananmu yg di taxi itu. Gemes pengin takjiwit supir taxine :))
Turut berduka cita ya Wan. Semoga mbah Kina sudah tenang bersama-Nya. Aamiin
ReplyDeleteTurut berduka ya mas, Mbah Kinah sudah tenang bersamaNya
ReplyDeleteInnalillahi wa inna ilaihi roji'un.... Turut berduka cita ya, Wan...
ReplyDelete