“Aim nanti diapain di sana?” tanya Bulek Min ketika saya utarakan
niatan untuk membawa anak sulung kami ke psikolog.
“Ya, dikonsultasikan semua tingkah laku Aiman. Biar kita tahu apa
penyebabnya dan bagaimana cara mengatasinya.”
“Hmm kasihan. Tapi memang sih aku sekarang juga kewalahan kalo Aiman
lagi kumat nakalnya.”
Bulek Min memang sangat dekat dengan Aiman, bahkan seringkali Aiman
tidur di rumah Bulek Min jika beliau besoknya masuk siang atau libur kerja.
Sejak dulu kami menitipkan Aiman jika mau keluar dan tidak memungkinkan
mengajak Aiman ikut serta. Trus jika saya menjemput Bulek Min pulang kerja,
Aiman selalu ikut juga sehingga wajar jika mereka berdua begitu dekat.
Baby Enju: Tangguh Sejak Dalam Kandungan
Sama seperti Bulek Min, saya dan Mama Ivon yang notabene orang tua
Aiman, belakangan merasa kewalahan menghadapi Aiman jika sedang berulah.
Terutama semenjak kehadiran Baby Aira, sikap therible-nya semakin menjadi-jadi. Aiman makin susah untuk
dibilangin baik-baik, sehingga kami jadi sering kehilangan kesabaran. Tak perlu
disebutkan apa yang kami lakukan saat emosi, yang pasti kami selalu dibayangi
perasaan bersalah dan penyesalan sehabis melakukannya.
Kalau Aiman sedang tertidur, hati ini rasanya pilu dan menangis
melihat wajahnya yang polos tanpa dosa itu. Kenangan saat dia masih bayi dan
menggemaskan langsung hadir di kepala saya, betapa saya sangat bahagia dan
bangga dikaruniai seorang bayi laki-laki yang sehat dan montok.
Kenangan mundur lagi di moment paling menyedihkan saat Mama Ivon
sedang hamil Aiman. Waktu itu kandungan Mama Ivon sudah berusia 7 bulan. Karena
stress, tekanan batin dan kenekatan makan gulai kambing mengakibatkan Mama Ivon
ngedrop. Kandungannya terasa panas sehingga menyebabkan Baby Enju (panggilan
kesayangan Aiman saat masih dalam kandungan) stress juga. Mama Ivon harus
diopname dan denyut nadi Baby Enju melemah.
Saat itu langit seperti runtuh dan hati ini menanggung rasa sedih
yang begitu dalam manakala dokter kandungan yang menangani kehamilan Mama Ivon
mengatakan jika denyut nadi Baby Enju terus melemah maka tidak ada jalan lain
yaitu menghentikan kehamilan Mama Ivon. Yaa, Baby Enju harus digugurkan.
Saya tak bisa menahan nestapa yang begitu berat, setelah dokter
kandungan meninggalkan kami, saya menangis sejadi-jadinya. Saya tahu,
seharusnya saya lebih tegar untuk menguatkan Mama Ivon namun saya tak sanggung
menerima jika vonis dokter itu nanti benar-benar harus dilakukan. Kami sudah
menanti-nantikan kehadiran anak pertama kami, sudah begitu banyak rintangan dan
ujian yang kami hadapi selama kehamilan. Rasanya tidak adil dan sangat
menyakitkan jika kami harus kehilangan Baby Enju. Perjalanan kami tinggal
sedikit lagi.
Alhamdulillah, Allah masih mengasihi kami. Pelan tapi pasti kondisi
Mama Ivon membaik, demikian juga dengan Baby Enju. Meskipun berat badannya
sempat kurang namun Baby Enju sanggup mengejar ketinggalan itu dan dia pun
lahir dengan selamat melalui operasi Caesar pada tanggal 29 Januari 2013. Baby
Enju telah membuktikan bahwa dia sudah tangguh sejak dalam kandungan, seperti
arti nama Enju dalam bahasa Jepang: Longevity yaitu memiliki daya hidup yang
tinggi.
Merindukan Aiman yang Dulu
Baby Enju tumbuh menjadi bayi yang aktif, dia seperti tidak pernah
memiliki rasa lelah sedikitpun. Setiap malam saya harus begadang menidurkannya
namun itu tak menjadi masalah, semua bayi juga seperti itu. Aktivitasnya di
malam hari kebanyakan diisi dengan bermain, mungkin ini juga kesalahan kami
yang tidak segera mengkondisikan dia dan suasana di kamar agar segera tidur.
Kebiasaan ini terus terbawa hingga sekarang.
Aiman sempat mengalami sakit yang cukup berat hingga harus dirawat
inap (opname) sebayak dua kali, penyebabnya adalah fimosis. Karena fimosis ini
Aiman jadi sering demam, panas dan batuk hingga harus bolak-balik berobat ke dokter.
Agar Aiman terbebas dari sakit langganannya itu, akhirnya terpaksa Aiman kami
sunat ketika masih bayi yaitu umur 2,5 tahun. Setelah disunat itu,
Alhamdulillah kondisi Aiman membaik dan jadi jarang sakit. Kalau sakit hanya
hitungan hari dan kemudian aktif kembali.
Aiman pun jadi lebih aktif. Ketika diajak keluar, dia akan berlari
ke sana ke mari sesuka hatinya. Saya sering kewalahan bahkan kecapean mengikuti
dan mengawasi setiap gerak-geriknya. Di satu sisi, saya bahagia dia tumbuh
sehat dan pemberani sebagai anak laki-laki namun di satu sisi saya pengin juga
dia bisa anteng duduk, terutama jika kami sedang hadir di acara resmi dan
keagamaan. Saya pernah ditegur sama takmir masjid karena saat sholat Aiman
tidak bisa diam, berlarian terus mulai dari takbir hingga salam.
Entah ini pengaruh karena sudah dikhitan atau bukan, Aiman juga punya
kebiasaan buruk yaitu suka memainkan alat vitalnya. Bukan memainkan secara
langsung menggunakan tangannya sih melainkan dengan tiduran di atas kursi dan
menggesek-gesekkan alat vitalnya di bantalan kursi yang empuk. *tepok jidat
Kami sudah berulang kali memperingatkan Aiman, mulai dari ngomong
pelan-pelan hingga memarahinya. Saya pun mencoba mencari referensi di internet,
ternyata banyak juga yang mengalami hal serupa. Bahkan tidak hanya bayi
laki-laki, bayi perempuan pun juga ada yang memainkan alat vitalnya.
Penyebabnya beragam tapi mayoritas karena anak merasa bosan dan tidak memiliki
kesibukan.
Padahal selama ini Aiman sudah sangat sibuk bermain, lihat saja
jumlah mainannya yang begitu banyak: 2 kontainer plastik ukuran besar. Tapi
memang Aiman termasuk anak yang pembosan, satu mainan belum selesai dimainkan
sudah ganti mainan yang lain. Tentang mainan ini, Aiman pernah seperti
kecanduan membeli mainan. Tiap kali kami ajak keluar, entah itu belanja bulanan
di supermarket, ke toko peralatan bayi hingga pergi ke keramaian atau tontonan,
dia selalu minta dibelikan mainan. Tak peduli meski dia sudah punya banyak
jenis mobil atau kereta, jika melihat ada yang baru pasti merengek minta
dibelikan.
Awalnya kami sempat los, terutama saya. Saya selalu mengabulkan
keinginannya tersebut. Namun lama-kelamaan kami kewalahan, apalagi jika saya
dan Aiman pergi berdua saja. Pernah dia merengek-rengek mulai dari toko sampai
pulang ke rumah karena kami tidak membelikan mainan yang diinginkannya.
Akhirnya karena saya tidak tahan dan tidak tega melihat dia terus menangis,
besoknya saya ajak balik ke toko mainan tersebut.
Kecanduan Aiman membeli mainan juga diperparah oleh sikap sayang ibu
dan Bulek Min yang selalu mengabulkan keinginannya. Entah itu membeli jajan
atau mainan di tetangga depan rumah yang kebetulan berjualan mainan. Memang
salah satu tantangan mendisplinkan anak adalah kasih sayang kakek nenek yang
berlebihan dan kurang tepat.
Akibat lain dari kasih sayang yang berlebihan keluarga saya adalah
kemampuan motorik halus Mas Aiman yang kurang. Hingga umurnya yang beranjak 4
tahun, Mas Aiman masih kesulitan memegang sendok, mengepal nasi dan memegang
pensil. Aiman pun jadi tergantung pada kami kalau makan terutama jika makan di
luar, dia juga belum bisa menulis. Padahal sepupu dan anak teman kami yang
usianya di bawah Mas Aiman sudah bisa makan sendiri dan menulis.
Selain bermain, kami juga memberikan Aiman tontonan berupa film
kartun dan video edukatif. Sumbernya dari televisi, CD atau mengunduh di
youtube. Tujuannya sebagai selingan agar
tak bosan dan media belajar juga. Kami cukup bangga karena sering melihat video
edukatif itu, Aiman sudah mampu menghafal angka dari 1 sampai 10 dalam Bahasa
Indonesia dan Inggris. Dia juga hafal nama-nama binatang dan buah-buahan.
Kalau Aiman lagi kumat nakalnya, saya berusaha mengingat-ingat
kenangan ketika dia masih bayi atau pencapaian-pencapaian yang berhasil dia
raih. Dengan begitu saya tidak lagi fokus pada kekurangannya, melainkan pada kelebihannya. Tapi tetap saja, jauh di lubuk hati yang paling dalam saya merindukan
Aiman bayi yang meski banyak tingkah tapi masih bisa diatur dan dikendalikan.
Sibling Rivalitas
Masalah lain timbul ketika Baby Aira lahir. Di antara kami berdua,
saya lah yang paling ngotot ingin punya anak kedua. Alasan utama agar Mas Aiman
memiliki saudara yang bisa diajak berbagi suka dan duka, terutama jika kelak
sudah dewasa nanti. Ketika Baby Aira lahir, Mas Aiman tampak senang meski awalnya malu-malu.
Namun ketika Baby Aira semakin besar, Mas Aiman mulai menunjukkan
perilaku yang cenderung agresif kepada adiknya. Awalnya hanya mencium gemas
hingga menekan pipi, lalu kian hari kian meningkat. Mulai dari menarik sarung
tangan dan sarung kaki sampai yang agresif seperti mencakar wajah Baby Aira. Sudah
tak terhitung lagi berapa kali pipi Baby Aira berdarah karena dicakar Mas
Aiman. Bahkan pernah lubang hidung Baby Aira berdarah karena ‘dicungkil’ dengan
jari telunjuk Mas Aiman. Mas Aiman berulah seperti itu terutama jika keluarga
besar saya datang ke rumah, mungkin dia merasa cemburu dan tersaingi.
Reaksi kami tentu saja kaget, marah dan sedih. Tak jarang kami
memarahi dan menghukum Mas Aiman terutama jika tingkahnya sudah membahayakan
Baby Aira. Kami sebenarnya dilemma, di satu sisi kami nggak mau Baby Aira
teraniaya tapi di sisi lain kami juga tidak mau memarahi Mas Aiman
terus-menerus. Saya apalagi, jadi merasa bersalah juga karena niatan memberikan
adik malah menjadikan Mas Aiman agresif karena merasa cemburu.
Puncak dari kesedihan kami adalah ketika Mas Aiman menunjukkan
gelagat seperti tidak betah di rumah. Dia jadi lebih sering tidur di rumah
keluarga besar yaitu bersama Bulek Min. Tak jarang, jika saya berangkat kerja
dia minta diantarkan ke Bulek Min karena mungkin merasa kurang diperhartikan
atau takut dimarahi. Jika Bulek Min berangkat kerja, dia akan menangis dan
merengek minta ikut serta juga. Keadaan ini tentu saja membuat kami sedih,
terutama Mama Ivon. Dia merasa sudah kehilangan putra kesayangannya.
Keluarga besar bahkan teman-teman kami sampai heran dan kaget
melihat perilaku Aiman kepada Baby Aira. Bahkan sebagian besar keluarga saya
sering merasa kesal hingga memberikan label nakal kepada Mas Aiman. Kami jadi
merasa sedih dan gagal sebagai orang tua, tidak bisa mendidik Aiman dengan
baik.
Semua yang terjadi pada Mas Aiman Aiman di atas, akhirnya
membulatkan tekad kami untuk membawa Mas Aiman ke psikolog. Mungkin bagi orang
tua lain, masalah yang kami hadapi ini sepele, kami terlalu lebay atau standart
kami terlalu tinggi buat Aiman. Tidak mengapa, setiap keluarga punya rule dan
standart masing-masing, jadi mari saling menghargai. Silakan memberi masukan
tanpa membully.
Masa depan Aiman masih luas membentang, waktu kami masih banyak
untuk mencari tahu apa penyebab Mas Aiman bertingkah laku seperti itu dan
memperbaiki polah asuh kami yang salah. Jalan kami masih panjang, kelak akan
muncul tantangan dan masalah lain yang mungkin lebih berat dan kompleks. Di
dunia ini tidak ada sekolah bagi para orang tua, pergi ke psikolog adalah salah
satu ikhtiar kami untuk belajar menjadi orang tua yang baik bagi Duo Ai.
Membawa ke psikolog bukan aib. Kalau demi kebaikan aiman kenapa tidak.
ReplyDeleteKalau anak saja disuruh belajar. Kenapa tidak sebagai ortu kita juga belajar :)
Lebih baik sedari kecil ditemukan penyebabnya mas
ReplyDeleteSehat selalu yaa baby enju
Psikolog di Malang ya mas? Nunggu post selanjutnya untuk referensi.. :D
ReplyDeleteAsma sekarang juga mulai gitu. Ilmi jadi korban.
ReplyDeleteKakak saya dulu mirip seperti Aiman, usut punya usut setelah kakak diajak bicara oleh ibu ketemu, barulah titik masalahnya. Saat saya bayi, kakak berusia 5 tahun.
ReplyDeleteSemua memang kudu duduk sejajar, saling memahami dari hati ke hati :)
Semangat untuk Duo Ai, kalian pasti bisa ^^
Tetap semangat yaaa....
ReplyDeleteYang tau kondisi mas aiman ya orang tua nya sendiri
Orang lain hanya penonton yang sesekali gatal mau komen.
Tetap semangaat...
Sibling rivalitas ini juga sempat terjadi sama Reva & Lala, Wan.. dulu kami pikir, jarak umur yang jauh gak akan bikin Reva cemburu ke Lala. Ternyata sama aja :D
ReplyDeleteAlhamdulillah sekarang udah enggak.. Tapi mungkin karena mereka jauhan ya :D kalo deket ya pasti ada juga berantem2nya hehehe...
Semangat mas Aimaan.. moga lancar terapinya yaa :)
Mungkin frekuensi Aiman berkunjung ke keluarga besar dikurangi, minimal mengurangi jatah menginap... karena bagi Aiman, pergi ke keluarga besar itu sebagai pelarian.
ReplyDeleteKalau dulu, waktu anak ketigaku lahir, ayahnya anak-anak sering pergi berdua saja sama anak sulung. Saya sama adik2nya ditinggal di rumah. Jadi si sulung mendapat perhatian penuh dari ayahnya. Sambil pelan-pelan diceritakan kenapa sih harus punya adik, apa sih enaknya punya adik...
Ih aku sedih lho begini kau bilang aib keluarga. Itu menunjukkan kalo banyak keluarga yg berusaha selalu tampak sempurna. Its ok Mas sharing beginian. Malahan bs kasih liat realita yg sesungguhnya. Semoga analisanya masih wajar ya Kak Aiman. Kamu nggak nakal, cuma belum bisa mengekspresikan "galau" mu lewat ngobrol.
ReplyDeleteMeminta pertolongan ahlinya kan sesuatu yang baik, ada awareness yang ditindaklanjuti dengan evaluasi dan langkah ke arah yang lebih baik. Semoga mendapat solusi terbaik dan dimudahkan dalam menerapkannya ya.
ReplyDeletePeluk2 Aiman
ReplyDeleteKonsultasi ke psikolog bukan aib. Juga bukan dosa bagi orang tua
Malah lebih bagus khan, kitanya jadi tau akar masalah dan cara mengatasinya. Plus untuk instrospeksi semua pihak, bukan hanya orang tua tapi juga lingkungan
Semangat ya keluarga biru
Apapun pilihan yang kalian ambil, semoga menjadi yang terbaik untuk semua
tetap samengat ya..
ReplyDeleteinsya Allah semua akan segera berlalu.
jadi penasaran sama hasil konsultasinya :)
Semoga proses kedepannya selalu diberi kelancaran ya Mbak, dan buat Aiman salam sayang dari Om nya di Kalimantan. ;-)
ReplyDeleteoh jadi mas aiman disunat umur 2 tahun.. *manggut2*
ReplyDeleteSemangat keluarga biru
ReplyDeleteTrus apa kata psikolog ??? ih aku penasaran, apa ini ada penyebab karena denyut melemah saat hamil ??? sop kambing ini penyebanya :-(
ReplyDeleteAku pun suka kangen sama sulungku waktu msh bayi :) Suka nyesel jg klo udh terlanjur marah karena kelakuannya skrg.. Saat ini umurnya 3,5 tahun dan adiknya hampir 1,5 tahun. Semakin adiknya besar memang makin banyak dramanya: rebutan mainan, rebutan ibunya, dll. Biasanya biar mereka gak ngerasa tersisihkan, aku sama suami suka ngajak jln2 kakaknya atau adiknya aja mas (jln bertiga aja), selain jln2 komplit sekeluarga. Suka jg kasih liat cerita di buku atau di video ttg adik kakak.. Smogaaa Aiman makin baik ya, smoga psikolog bisa membntu, lbh cepat lbh baik mas..
ReplyDeleteWah, kayak aku baru punya anak kedua lalu, suka rebutan minta diperhatikan, hiiks
ReplyDeleteSenang kalo ada orangtua yang gak nyepelein permasalahan yang ada pada anaknya, thanks for sharing mas.
ReplyDeleteSalam,
Shera.
Assalamualaikum, saya sedang berencana membawa anak sulung sawa ke psikolog. masalahnya miriiiip sekali dengan Mas Aiman dari cerita di atas. bagaimana kah hasilnya? benar2 berpengaruh terhadap perubahan Mas Aiman?
ReplyDeleteAssalamualaikum, saya sedang berencana membawa anak sulung sawa ke psikolog. masalahnya miriiiip sekali dengan Mas Aiman dari cerita di atas. bagaimana kah hasilnya? benar2 berpengaruh terhadap perubahan Mas Aiman?
ReplyDelete