“Duh gimana kalo hasilnya reaktif, trus saya harus diisolasi, lalu siapa yang akan mendampingi istri di UGD?” Pikiran saya udah yang enggak-enggak selama menunggu hasil tes SWAB saya. Waktu 30 menit terasa begitu lama dan menyiksa, saya hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Allah SWT.
***
Di tengah pandemi saat ini , kita harus selalu menjaga kesehatan jangan sampai sakit apalagi sampai harus berobat ke rumah sakit. Namun kondisi tubuh bisa naik turun, meskipun sudah mati-matian menjaga kesehatan namun adakalanya tubuh tetap tumbang. Nah pada kesempatan kali ini saya mau sharing beberapa pengalaman saya berobat ke rumah sakit saat pandemi.
Oh iya, sebelum bercerita saya mau kasih tahu kalau saya tinggal di Malang yang mana statusnya di saat pandemi sempat berubah-ubah. Pernah ditetapkan sebagai zona kuning, oranye hingga merah sehingga hal ini ikut mempengaruhi keputusan saya apakah harus berobat ke rumah sakit atau ditunda dulu sampai keadaan memungkinkan.
Berdasarkan pengalaman saya berobat ke beberapa rumah sakit dan poliklinik di Malang, mayoritas sudah menerapkan protokol kesehatan dan pencegahan penularan virus Covid 19. Petugas atau perawat di rumah sakit semuanya mengenakan masker kesehatan, ada yang dilengkapi juga dengan face shield. Untuk dokternya ada yang hanya mengenakan masker kesehatan namun ada juga yang mengenakan APD (alat pelindung diri) hazmat.
Sedangkan untuk pasien selain diwajibkan memakai masker juga harus mencuci tangan sebelum memasuki ruangan. Di pintu masuk akan diukur suhu atau temparatur tubuh. Tempat duduk untuk ruang registrasi, ruang tunggu, hingga ruang pemeriksaan sudah diatur berjarak sesuai dengan konsep physical distancing. Di satu-dua rumah sakit bahkan ada pemeriksaan lanjutan saat registrasi yaitu pengukuran kadar oksigen di dalam tubuh dan pengisian form yang berisi tentang riwayat kesehatan, kontak dengan pasien Covid 19 dan riwayat bepergian ke luar kota.
Berobat ke Poliklinik
Selama pandemi ini saya beberapa kali berobat ke poliklinik yang ada di kantor, baik itu untuk saya sendiri maupun anak istri. Kalau saya berobat karena sakit vertigo dan menambal gigi berlubang. Pernah juga mengantar istri minta surat rujukan untuk pemeriksaan ke dokter kandungan dan mengantar Mas Aiman yang sakit gigi dan menambal giginya.
Secara keseluruhan saya puas dengan layanan di poliklinik, bukan berarti karena ini fasilitas di kantor sehingga saya bilang puas. Tapi karena faktanya seperti itu, petugas, perawat dan dokter melayani dengan ramah. Protokol kesehatan diterapkan mulai dari sebelum masuk ke ruangan, saat registrasi, menunggu panggilan hingga pemeriksaan di ruang dokter. Dokter yang menangani menggunakan masker, face shield dan hazmat.
Hanya saja ketika saya sakit vertigo, obat yang diberikan oleh dokter poliklinik tidak cocok meskipun saya sudah meminumnya rutin selama 2 hari. Karena tidak tahan dengan vertigo yang saya rasakan, akhirnya saya berobat ke dokter umum yang membuka praktek di dekat rumah. Tapi sakit vertigo yang saya alami tidak kunjung sembuh. Untuk tahu cerita lengkapnya silakan baca di tulisan saya yang berjudul: Mengobati Sakit Vertigo Dengan Antimo.
Melarikan Ibu ke UGD RS Panti Waluya Sawahan
Sebelum pandemi, Ibu saya terkena serangan stroke yang kedua. Waktu itu Ibu sudah ditemukan terbaring tak berdaya di dapur. Ibu sempat rawat inap selama 5 hari, setelah itu dilanjutkan dengan rawat jalan. Kondisi Ibu sebenarnya belum sepenuhnya pulih karena serangan stroke yang kedua biasanya memang lebih parah. Ibu sempat kontrol satu atau dua kali sebelum pandemi, nah setelah pandemi datang kami tidak membawa Ibu ikut serta saat kontrol mengingat kondisinya yang rawan. Oleh dokter spesialis syaraf yang menangani Ibu, saya hanya perlu memberikan data kesehatan seperti tekanan darah dan foto kondisi terkini saat kontrol.
Ibu berobat menggunakan BPJS jadi jika ingin kontrol ke RS Panti Waluya Sawahan atau lebih dikenal RKZ harus menggunakan surat rujukan. Di peraturan BPJS disebutkan jika seorang pasien bisa meminta surat rujukan dari Faskes (Fasilitas Kesehatan) 1 ke rumah sakit Tipe C, jika di rumah sakit Tipe C tidak bisa menangani barulah bisa dirujuk ke Tipe B. Nah RKZ ini termasuk dalam kategori Tipe C, untungnya surat rujukan pada bulan Juli masih sisa 1 kunjungan lagi.
Masalah terjadi pada bulan Agustus minta rujukan dari RS Tipe C pilihannya ada dua yaitu RS A dan RS B, saya akhirnya memilih rumah sakit kedua karena jaraknya lebih dekat dari rumah. Namun ternyata saya tidak bisa meminta rujukan ke RKZ karena RS B memiliki dokter spesialis syaraf. Jika tetep memberikan rujukan maka RS B akan mendapatkan teguran. Saya pun tidak bisa menolak, Ibu akhirnya ditangai oleh dokter di RSI Aisyiah.
Mungkin karena pergantian dokter dan obat, sehingga kondisi Ibu belakangan semakin ngedrop. Pada akhir September kondisi Ibu sangat mengkhawatirkan, beliau kejang-kejang dan sudah tidak bisa merespon kami. Pada tengah malam saya melarikan Ibu ke UGD RKZ untuk segera mendapatkan penanganan.
Sesuai dengan protokol Covid 19, sebelum ditangani Ibu harus menjalani tes swab dulu. Saya sempat kuatir mengingat kondisi Ibu yang rawan terkena virus atau kuman dari luar. Alhamdulillah hasil tes Ibu non reaktif, beliau pun akhirnya mendapatkan perawatan terkait sakit stroke-nya. Namun sayang, pada tanggal 2 Oktober 2020 kondisi Ibu kritis dan akhirnya beliau menghadap Sang Illahi pada pukul 19.05 WIB.
Bayar 2 Masker N95 untuk Perawatan 1 Jam Saja
Pada bulan Oktober 2020, Mama Ivon mengandung calon buah hati kami yang ketiga. Kehamilan ini sebenarnya tidak direncanakan namun begitu tak mengurangi rasa syukur kami atas karunia dari Allah. Kami berusaha menjaga kehamilan ini agar sehat dan ekstra berhati-hati mengingat situasi pandemi yang belum berakhir.
Sayangnya kondisi kehamilan ketiga ini memang berbeda, di awal kehamilan Mama Ivon sempat pendarahan sedikit ketika kami pulang kampong ke Blitar. Waktu itu kami langsung ke sebuah rumah sakit di sana, menurut diagnose dokter kandungan di sana kondisi kehamilan memang agak lemah sehingga harus dijaga lebih ekstra dan diberi resep penguat kandungan.
Sekembalinya di Malang, kondisi Mama Ivon sudah lumayan membaik. Selama dua bulan kami sudah memeriksakan kehamilan ke dokter kandungan di sebuah rumah sakit di Malang, sebut saja RS C. Namun dari dua kali pemeriksaan ini, belum terlihat janin di kandungan Mama Ivon jika di cek dengan USG biasa. Baru terlihat jika diperiksa secara USG trans vaginal, tentu saja hal ini membuat kami khawatir. Ketika Mama Ivon hamil dua anak kami sebelumnya, calon bayi sudah terlihat di usia kehamilan 2 bulan.
Benar saja, sehari setelah kontrol kedua, Mama Ivon mengalami pendarahan. Awalnya Mama Ivon masih mau bertahan namun akhirnya menyerah dan saya membawanya ke UGD RS C pada jam 4 dini hari. Untuk prosedur penerimaan pasien di UGD RS C ini tidak ribet, setelah diperiksa suhu jika tidak lebih dari 37 derajat maka pasien langsung ditangani. Mama Ivon ditangani selama kurang lebih 1 jam, perawat yang menangani berkonsultasi jarak jauh dengan dokter kandungan. Mama Ivon diberikan obat untuk menghilangkan kontraksi dan nyeri, setelah 1 jam observasi dan tidak ada keluhan lagi kami diperbolehkan pulang.
Namun saya
agak kaget saat melakukan pembayaran di kasir. Perawat memang sudah memberitahu
jika keadaan pasien tidak gawat darurat dan tidak dirawat inap maka tidak bisa
menggunakan BPJS. Tapi saya nggak nyangka aja jika biayanya setengah juta
lebih, dimana yang membuat biaya membengkak adalah biaya 2 masker N95. Ketika
saya menanyakan hal itu pada bagian apotik dan kasir, memang untuk biaya
peralatan kesehatan sekali pakai dibebankan kepada pasien. Karena saat itu keuangan lagi mepet, akhirnya saya menebus obat lainnya di luar.
Masalahnya adalaah, seingat saya juga istri, 2 perawat yang menangani kami tadi tidak mengenakan masker N95. Lalu kenapa kami tetap dibebankan biaya tersebut. Di nota tertera harga masker N95 @Rp.126.000, jadi kalo dua masker: Rp.252.000
Yang bikin makin kesel adalah setelah kami pulang, malam harinya Mama Ivon tetap merasakan sakit. Rupanya kandungannya kontraksi lagi dan terjadi pendarahan lagi bahkan lebih parah.
Tes SWAB sebelum Dirawat di RSIA Melati Husada
Belum genap satu hari kami dari UGD RS C, kami harus lari lagi ke UGD RSIA Melati Husada pada Minggu dini hari. Kami memilih rumah sakit ini karena pelayanannya yang sangat bagus dan memuaskan, silakan baca pada tulisan saya berikut: Pengalaman Melahirkan di RSIA Melati Husada.
Belajar pada pengalaman kami di UGD RS C, maka kami memastikan dulu bagaimana prosedur penerimaan pasien UGD di RSIA Melati Husada. Secara aturan administrasi sama, pasien bisa menggunakan fasilitas BPJS jika memang kondisinya memenuhi unsur gawat darurat dan dirawat inap. Lalu setiap pasien yang akan dirawat harus menjalani tes SWAB terlebih dahulu. Oke kami nggak masalah, lebih baik pasien tahu di awal seperti ini sehingga bisa mempersiapkan biaya.
Begitu kami sampai di RSIA Melati Husada, Mama Ivon ditangani oleh para perawat. Sementara saya mengurus administrasi untuk tes SWAB. Biaya tes SWAB per orang Rp.250.000. Mama Ivon sudah diberikan obat di ruang UGD sementara saya hanya bisa menunggu di luar ruangan. Kami terpisah oleh dinding ruangan namun jendelanya tertutup sehingga saya tidak bisa melihat kondisinya. Namun saya bisa mendengar dia merintih-rintih kesakitan.
Saya lalu meminta tolong pada perawat untuk memberikan HP Mama Ivon padanya. Kami pun bisa berkomuniksi via WA, meskipun saya tidak menemaninya secara langsung tapi saya bisa mencoba menenangkannya lewat video call. Tapi hal itu tidak cukup, Mama Ivon ingin agar saya menemaninya di dalam.
Saya pun akhirnya menjalani tes SWAB juga. Sempat khawatir juga menunggu hasilnya, mengingat selama ini saya belum pernah menjalani tes sejak pandemi melanda Indonesia.
“Duh gimana kalo hasilnya reaktif, trus saya harus diisolasi, lalu siapa yang akan mendampingi istri di UGD?” Pikiran saya udah yang enggak-enggak selama menunggu hasil tes SWAB saya. Waktu 30 menit terasa begitu lama dan menyiksa, saya hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Allah SWT.
Alhamdulillah hasil tes SWAB saya non reaktif, saya pun diijinkan masuk untuk menemani istri di ruang UGD. Dari dini hari hingga pagi hari, saya menemani dan menenangkan Mama Ivon yang menahan sakit ketika kandungannya kembali berkontraksi. Kami masih belum tahu mengapa hal itu bisa terjadi dan masih harus sabar menunggu untuk diperiksa oleh dokter kandungan yang baru datang jam 10 pagi. Maklum, memang jadwal buka praktek beliau di RSIA Melati Husada memang jam segitu.
Itulah pengalaman saya berobat di saat pandemi di beberapa rumah sakit di Malang. Semoga teman-teman bisa belajar dari pengalaman saya, jaga kesehatan baik-baik agar jangan sampai dirawat di rumah sakit. Berobat di saat pandemi seperti ini sangatlah riskan dan biayanya mahal. Kalaupun tetap terpaksa harus ke rumah sakit maka patuhi protokol kesehatan dengan baik agar kita terhindar dari penularan virus Covid 19 aamin YRA.
Baru tau kalo ga rawat inap maka ngga ditanggung bpjs nya
ReplyDeleteTermasuk bpjs yang nonmandiri? Yang dibiayai pemerintah?
Kasihan atuh, jangan kan biaya pengobatan setengah juta, untuk makan pun mereka ngap ngapan
semoga mba Ivone dan seluruhhh elemen keluarga sehaattt selalu ya.
ReplyDeleteMemang pandemi gini serba ribet
kapan hari buMertuaku juga vertigo, tapi aku ga berani bawa k klinik/RS.
Jadi cuma whats app call aja ama iparku yg dokter tapi tinggalnya di BDG
Pas pandemi gini emang agak was was sih klo kudu berobat atau kontak sama apa apa di RS,
ReplyDeleteTakutnya tu kena gtu pas di RS 😑
Selalu semangat,
Semoga Pandemi segera Berakhir
Dokter kandungan nya ga ada yang bisa dipanggil untuk kondisi darurat ya? Atau dokter kandungan siapa aja yg sedang menangani pasien melahirkan di sana? Oh ya untuk masker N95 seharusnya bisa ditanyakan, siapa tahu petugas administrasi nya lupa meretur atau sebenarnya dipakai perawat pas menyiapkan obat dll?
ReplyDeletewah mas, saya bayangin gimana perjuangannya.. salut untuk kalian berdua. alhamdulillah masih diberi selamat dan perlindungan yaa, mudah2an sehat selalu, 2021 masih perlu ketatin masker hihi
ReplyDeletePengobatan di tengah pandemi memang bikin dilematis banget. Suami saya sebulan sekali harus kontrol ke RS dan 3 bln sekali perpanjangan, cukup membuat kami waspada. Tapi terpenting, berobat jalan aja terus, prokes dijalankan. Gapapa. Ttg istri yg pendarahan, saya pernah mengalami, bedrest aja, Mas, makan vitamin dan Elkana, kalau perlu jalan kaki, pelan2(banget) jalannya,jangan angkat2 apalagi beres2 rumah. Sehat2 dan tetap semangat, ya.
ReplyDeletengilu2 bacanya. ini pas hari ketiga demam. sempat parno, tapi insyaallah cuma flu biasa. ngeri kalo harus ke rs di masa pandemi gini. ngeri virusnya, ngeri biayanya
ReplyDeleteah benar ya mas, pas pandemi gini emang ngeri klo ke rs, makanya harus selalu jaga kesehatan ya mas...
ReplyDeletesehat terus untuk keluarga biru
Kalau mulai ada gejala sakit di saat pandemi ini bikin kita was2 ngt. Terlebih sekarang kalau berobat ke RS itu terlalu beresiko menurutku. Karena kita kan nggak tahu mn yg berpotensi menulari. Jadi memang harus bener2 jaga diri agar sehat dan imun tubuh kuat.
ReplyDeleteSemoga mbak Ivone selalu sehat juga ya
jadi ingat ibuku yang pas tahun kemarin juga masuk rumah sakit 2 kali karena kena hipertiroid. memang selama masa pandemi berurusan sama rumah sakit jadi lebih ribet ya karena harus rapid tes dan nggak bisa sering dibesuk
ReplyDeleteKemarin juga denger cerita kayak gini dari tante saya. Emang di tengah pandemi gini ngga bisaa seleluasa sebelumnya. Ditambah syaratnya macem2 bangett
ReplyDeleteIya nih mas, kalau mau masuk RS untuk tindakan medis memang kudu tes dulu bagi pasien dan juga pengantar. Prosedurnya seperti itu sekarang.
ReplyDeleteDeg-degan pasti yaa...
ReplyDeleteSemoga segera diberi kesehatan untuk Ibu dan Mama Ivon.
Kehamilannya lancar dan semuanya sehat.
Seribet itu memang di Rumah Sakit sekarang yaa..
DeleteSebel iih...kenapa jadi peralatan sekali pakai harus pasien yang bayar yaa...huhuu~
Betul banget, saat pandemi ini rasanya harus perlu ekstra menjag kesehatan. Karena apalagi prosedurnya bertambah, kita kudu swab dulu jadi bikin bengkak biaya deh
ReplyDeleteItu bpjsnya semua kah kak yg mandiri dan pemerintah? Berobat ke RS d masa pandemi ini mmg betul lebih mahal ya, selain ada biaya swab jg ada biaya mandiri utk APD nakesnya. Semoga2 keluarga Papa Biru sehat2 selalu selanjutnya
ReplyDeleteaaamiiin,
Deletesemogaaa kita semua sehaatt ya
ga kurang suatu apa pun
Saya baru tahu kalau untuk biaya masker itu ditanggung oleh pihak pasien. Ya pantas saja jika kemudian biaya nya jadi membengkak.
ReplyDeleteIya memang benar sekali, berobat selama masa pandemi itu beda sama sebelum pandemi, jadi agak agak susah dan ribet, BELUM lagi jika berobat dalam kondisi darurat. Harus cek ini, cek itu.
Biaya swab nya sangat terjangkau ya, 250rb saja, sangat jauh dibanding di rumah sakit karawang yg mana swab 1,1 juta per orang.
Ya semoga saja, kita semua tetap sehat selama masa pandemi.
Turut berdukacita ya, Mas. Semoga habis ini lekas pulih kembali baik fisik juga mental. Kebayang repotnya sih kalau mau berobat karena kudu tes dulu. Yuk sama-sama jaga kesehatan
ReplyDeleteSmoga mba ivon dan keluarga sehat selalu dan diberikan lindungan sama Allah SWT.,. Amiin..
ReplyDeleteDulu lebih enak ya mas, kalau masu masuk klinik atau rumah sakit, langsung masuk aja. Tpi sekarang harus test antigen yg menunjukan hasil negatif dan penjagaan pun lebih ketat.. Pokoke stay save iya mas,,
Semoga cepet sembuhh mas, Aamiin
ReplyDeletehuhuu
ReplyDeletesemoga pandemi lekas usai dan kita sehat2 semua yaaa
semoga keluarga mas ikhwan bisa berkumpul kembali dalam keadaan sehat walafiat
aamiin
Dari sekian banyak rs di malang memang harus selektif nyari yang terbaik ya pelayanannya selama pandemi. Sehat2 terus buat ibunya dan mama ivon ya
ReplyDeleteYa Allah..susahnya sakit di saat pandemi meski bukan covid. Turut berduka untuk ibunda ya, Mas. Turut lega dengan semua proses pengobatan dan pelayanan yang sudah dijalani keluarga. Semoga setelah ini semua sehat, kita semua sehat. Aamiin..
ReplyDeleteYa Allah turut berduka ya mas untuk ibunya. Hingga kini saya masih harus bolak balik anter papa kontrol ke Rs huhu degdegan pastinya. Semoga kita sekeluarga sehat dan bahagia selalu ya.
ReplyDeleteAku juga dua kali bolak bali RS karena emak mertua rawat inap karena diabetes yang komplikasi. Selama tiga hari dan 4 hari, wah rasanya sedih dan takut juga aslinya Pap. Tapi terus berpikiran positif. Papa Biru dan keluarga yang kuat dan tabah ya.
ReplyDeleteMasyaallah cukup ribet ya mengurus segala sesuatunya saat oandemi di rumah sakit. Jaga kesehtan ya semuanya. Agar selalu sehat.
ReplyDeleteY allah mas pengalamanmu ke rumah sakit wow banget. Sakitnya juga ga main, mulai dari ibu dan mba ivone. Aku paling imunisasi anak dan ke dokter gigi nambal gigiku. Itu aja udah deg2an banget, meskipun ga diminta swab
ReplyDelete