Orang tua saya dulu menjalani Long Distance Marriage (LDM) atau pernikahan jarak jauh. Ayah bekerja di Surabaya sedangkan ibu dan kami anak-anaknya tinggal di Malang. Ayah biasanya pulang ke Malang sebulan sekali, namun beberapa kali pernah juga molor sampai 2 bulan baru pulang. Biasanya saat uang bulanan yang dipegang Ibu sudah habis sementara Bapak belum kunjung pulang, maka Ibu terpaksa menyusul ke Surabaya. Maklum orang tua saya tidak punya tabungan di bank jadi tidak bisa transfer uang. Ibu tidak pernah menginap, walaupun sudah larut malam beliau akan tetap pulang ke Malang dengan naik bus. Kami para anak hanya bisa menunggu dengan rasa khawatir. Biasanya ibu sampai di rumah sekitar pukul 10 sampai 11 malam.
Ketidakhadiran figur
ayah di dalam kehidupan saya saat kecil hingga remaja membuat saya sering iri
saat melihat kedekatan teman-teman saya dengan ayahnya. Misalnya saja saat
pengambilan rapor, sejak SD sampai SMA orang tua saya tidak pernah ke sekolah
untuk mengambil rapor saya.
Baca juga: Manfaat Orang Tua Mengambil Rapor Anak
Belum lagi
kalau saya mengalami kesulitan belajar dan masalah di sekolah, tidak ada sosok ayah
yang bisa membantu dan melindungi saya. Jujur saja, saya dulu termasuk anak
yang sering mengalami bullying di sekolah. Zaman dulu guru dan orang tua
belum begitu concern dengan perundungan, biasanya hanya dianggap guyonan
anak yang tidak perlu dianggap serius. Andai saja mereka tahu bagaimana saya berjuang
sendirian mengalahkan rasa takut, malu dan keengganan untuk masuk sekolah lagi
setelah mengalami perundungan. Karena seringnya di-bully saya
jadi anak yang penakut, tidak percaya diri dan susah bergaul dengan teman-teman.
Masa-masa SD
boleh dibilang adalah masa terburuk saya karena begitu banyak kejadian
menyakitkan di sekolah yang meninggalkan luka batin dalam diri saya. Pernah saya
dapat tugas ketrampilan membuat maket rumah namun sialnya saya baru ingat di
malam harinya. Padahal besok sudah harus dikumpulkan. Akhirnya dengan terpaksa
saya pasrah ketika bibi-bibi saya membuatkan bunga dari kertas. Saya tahu pasti
besok akan dibully oleh teman sekelas tapi saya tidak bisa menolak. Saya masih
ingat betul bagaimana mereka menertawakan saat saya mengeluarkan bunga kertas
dari atas. Sementara semua teman-teman saya dengan bangganya memperlihatkan
maket rumah di atas meja mereka.
Waktu itu saya
hanya bisa pasrah, rasanya malu dan ingin segera pulang ke rumah.
“Ini semua
nggak akan terjadi kalau ayah tinggal bersama saya, dia pasti akan membantu
saya membuat tugas maket rumah...” begitu ucap hati kecil saya waktu itu.
Belum sembuh
luka itu, kami sekeluarga harus menerima kenyataan pahit saat saya duduk di
bangku SMA kelas 2. Ayah pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya karena penyakit
jantung. Yang menyakitkan adalah kami tidak bisa mendampingi saat-saat terakhir
beliau. Walaupun selama ini Ayah jarang berada di sisi kami namun tetap saja
kepergiannya yang mendadak itu membuat hidup kami tidak lagi sama.
Tidak ada
lagi seseorang yang kami nantikan kedatangannya setiap bulan. Tak ada lagi
orang yang membawakan kami majalah anak bekas setiap kali pulang dari Surabaya.
Tak ada lagi orang yang begitu sabar dan tak pernah marah kepada kami
anak-anaknya ini. Kerinduan saya pada Ayah adalah kerinduan yang tak pernah terobati
hingga sekarang.
Sejak dulu
saya mengira bahwa hanya saya saja yang mengalami hal itu tapi ternyata kakak
saya juga. Beberapa waktu yang lalu saya membaca status WA salah satu kakak
saya (wanita) yang galau karena sedang
ada masalah. Dia merindukan almarhum ayah kami, mengenang masa kecil kami yang
tidak pernah didampingi ayah. Dia merindukan ayah yang begitu sabar dan tidak
pernah marah kepada kami. Saya jadi mellow pas baca statusnya itu, apalagi dia
kan wanita. Jadi teringat ungkapan, ayah adalah cinta pertama anak
perempuannya. Saya yakin sosok almarhum ayah kami yang begitu sabar adalah
cinta pertama kakak saya.
Itulah sebabnya
kenapa setelah menikah saya tidak mau menjalani LDM. Istri saya dulu pernah
punya wacana untuk tetap tinggal di Blitar setelah menikah sementara saya tetap
bekerja di Malang. Saya bilang nggak mau LDM, saya tidak ingin anak-anak saya
mengalami apa yang saya rasakan dulu. Begitu juga dalam hal pengasuhan anak, sejak
bayi saya sudah ikut merawat mereka seperti memandikan, mengganti popok,
menyuapi makan, mengajak main dan lain-lain. Pokoknya saya ingin menjadi ayah
yang tidak hanya hadir secara fisik namun juga hadir secara psikologis. Buat
saya keluarga adalah prioritas utama dalam hidup saya. Saya bekerja dan
berkarya semuanya untuk mereka.
Kesimpulan akhir
dari sharing saya kali ini adalah masa lalu orang tua akan berpengaruh pada
masa depan anak. Apakah pengaruhnya positif atau negatif itu tergantung pada
orang tua bagaimana mengelola masa lalu itu terutama jika menyakitkan menjadi
sebuah motivasi untuk memutuskan rantai itu cukup di mereka saja. Cukup masa
kecil kita saja yang sedih, jangan sampai anak-anak kita mengalaminya juga.
Figur seorang ayah memang penting untuk anaknya apalagi sebagai anak pasti membutuhkan sandaran kokoh di hidupnya. Tapi, kadang karena alasan mencari nafkah seorang ayah meninggalkan anaknya. Dari sini bisa jadi pelajaran, ya, buat menjadi ayah yang baik untuk anak. Terima kasih sharingnya!
ReplyDelete